Manusia terobsesi dengan keabadian, dan karenanya berupaya mengakali maut. Tapi, apakah hidup dan mati sesederhana berfungsi atau tidaknya tubuh fisik, termasuk otak?
SATU hal yang pasti saat manusia lahir adalah kematian. Tapi, satu-satunya kepastian itu justru yang mencemaskan manusia.
Itu karena manusia mendamba keabadian, sesuatu yang tak pasti. Sartre bilang, hidup berhenti bermakna pada momen kita kehilangan ilusi bahwa kita abadi.
Obsesi akan keabadian. Itulah sepertinya yang ingin disampaikan sutradara Perancis Alexandre Aja dalam Oxygen yang tayang di Netflix pada 12 mei 2021.
- Judul Film: Oxygen
- Sutradara: Alexandre Aja
- Penulis: Christie LeBlanc
- Pemain: Mélanie Laurent, Malik Zidi, Mathieu Amalric
- Rilis: 12 Mei 2021 (Netflix)
- Durasi: 101 menit
Manusia berjibaku mencurangi maut, dan alat utama untuk melakukan itu adalah sains. Sains memang berpotensi memberi jawaban tapi pada saat yang sama menghadirkan misteri.
Elizabeth Hansen (Mélanie Laurent), fisikawan ahli cryogenic (cabang fisika yang memperlajari kondisi materi dalam temperatur yang sangat rendah—di bawah minus 150 deajat celcius), berupaya menyelamatkan hidup suaminya, Léo Ferguson (Malik Zidi), hidupnya sendiri, dan keberlangsungan ras manusia secara keseluruhan. Dengan pengetahuan ilmiah yang dia kuasai, Liz mengerahkan segala cara demi menghindari kematian.
Premis Oxygen adalah bagaimana sains berupaya mengakali hukum besi kehidupan: kematian. Tapi, bagaimana skenarionya berkisah, visualisasinya, dan juga akting pemeran utamanya Laurent—bisa dibilang bahkan satu-satunya pemeran—membuat film ini tak boleh Anda lewatkan.
Skenarionya berkisah dengan plot tipis. Anda hanya akan mengarungi cerita dari sudut pandang Liz. Penggambarannya tampak membosankan. Nyaris sepanjang film, Anda hanya akan menyaksikan akting Laurent dalam kapsul cryogenic. Bagi Anda yang klaustrofobik, film ini bisa jadi tak terasa menyenangkan.
Namun, penampilan Laurent (pernah mendapat pujian selangit dalam Inglourious Basterds sebagai Shosanna Dreyfus) membuat Anda bisa terpaku pada layar selama 101 menit. Laurent berhasil memeragakan berbagai perubahan emosi: keingintahuan, cinta, kecemasan, kesia-siaan harapan, kehilangan, dan pengungkapan.
Semua itu dilakukan aktris Perancis itu dalam adegan di kapsul cryogenic. Seolah kapsul itu adalah panggung teater monolognya. Ia hanya beradu akting dengan suara mesin cerdas M.I.L.O (Mathieu Amalric) dan suara-suara di ujung sambungan telepon.
Bagi Anda penggemar fiksi ilmiah, film ini menampilkan setidaknya tiga ‘asumsi’ saintifik yang hingga kini belum mampu diwujudkan para saintis: cryosleep (atau cryonics), transplantasi memori otak, dan kloning manusia). Ketiga asumsi tersebut sebagiannya berhubungan dengan obsesi atau ambisi manusia mencurangi sang maut. Tapi, ketiganya juga menghadirkan misteri atau pertanyaan tentang kematian, jiwa (spirit), dan kesadaran-diri (self-consciousness).
Perkembangan cryogenic memprovokasi sebagian saintis untuk berharap bahwa mereka bisa menyelamatkan tubuh orang yang (secara klinis) mati dari pembusukan dan kemudian membangkitkannya kembali di masa depan (cryonics). Saintis arus utama skeptis dengan harapan itu dan bahkan menyebut cryonics sebagai pseudosains.
Teknologi itu juga diharapkan bisa membantu perjalanan luar angkasa antarplanet, atau bahkan antargalaksi, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun (deep space travel). Dengan cryogenic, para saintis berharap bisa membuat para astronot tertidur panjang, atau hibernasi, untuk kemudian dibangunkan dalam kondisi usia yang tak menua dan keadaan sehat walafiat, tak kurang sesuatu apa pun. Dengan begitu, deep space travel menjadi lebih mungkin karena hibernasi bisa menghemat konsumsi energi.
Perkembangan mutakhir mengabarkan bahwa sebuah proyek—yang antara lain melibatkan NASA—telah berhasil menciptakan kondisi mirip cryosleep yang disebut “torpor”. Tapi, “torpor” hanya mampu mempertahankan kondisi hibernasi selama dua pekan. Meskipun menjanjikan, kabar ini jelas bukan sesuatu yang menggembirakan bagi deep space travel.
Persoalan utamanya bukan di situ. Kondisi cryosleep ternyata merusak otak dan jaringan sarafnya. Ketika tubuh yang tidur panjang itu dibangunkan, kesadaran dan memori pemilik tubuh bisa hilang.
Di sini, kita akan memasuki asumsi saintifik lain yang belum pernah dilakukan, yakni transplantasi otak atau memori dari dalam otak seseorang ke dalam tubuh orang lain atau tubuh hasil kloning (para saintis juga belum mampu mengkloning manusia). Dengan menginjeksikan memori, para saintis, utamanya yang terobsesi dengan cryonics, yakin bisa menciptakan keabadian. Mereka percaya injeksi memori bisa menghasilkan pribadi yang sama dengan pribadi si pemilik memori.
Di titik ini, film ini mengingatkan saya dengan perdebatan panjang antara kaum monist dan dualist dalam biologi dan psikologi. Kaum monist meyakini bahwa segala aktivitas manusia, termasuk hal-hal abstrak seperti pikiran, perasaan, dan bahkan kesadaran, merupakan hasil kerja selebral, aktivitas kimiawi di dalam otak. Kaum dualist sebaliknya menganggap tak semua aktivitas manusia, terutama kesadaran, dipicu oleh kinerja otak. Manusia memiliki kemampuan mengabstraksi dirinya ke luar wujud fisiknya. Inilah yang mereka sebut dengan jiwa (spirit).
Bagi kaum dualist, jiwa manusia bisa menerima pengetahuan dan kesadaran dari luar wujud fisiknya. Kaum dualist mempertanyakan asumsi kaum monist. Bagaimana kaum monist bisa meyakini bahwa aktivitas di dalam otak adalah pangkal atau sebab dari kesadaran manusia, dan bukan akibat dari kesadaran manusia yang memperoleh limpahan pengetahuan dari luar wujud fisiknya.
Tak sedikit manusia yang berada dalam tubuh fisik seorang lelaki (termasuk otak lelaki yang kaum monist yakini sebagai berbeda dengan otak perempuan) memiliki kesadaran gender perempuan, atau sebaliknya. Ini menandakan bahwa kesadaran manusia jauh lebih luas dan tinggi daripada sekadar kerja otak di dalam tubuh fisiknya.
Para saintis yang menentang praktik cryonics (kabarnya hingga 2014 sudah ada 250 tubuh yang mendaftar untuk dibekukan dengan teknologi cryogenic dan kemudian dibangkitkan di masa depan—tentu saja tubuh milik orang-orang berduit) memandang bahwa tubuh yang nanti dibangkitkan itu bukanlah pribadi dengan kesadaran-diri yang sama. Ia akan hidup dengan kesadaran-diri yang baru atau bahkan tanpa kesadaran sama sekali. Ia seseorang yang lain atau bisa jadi zombi atau Frankenstein. Itulah kondisinya meskipun transplantasi otak atau memori terlibat di sini.
Di sinilah muncul pertanyaan etis tentang kematian, kesadaran-diri, dan tentu saja tentang cyronics. Apakah batas antara kehidupan dan kematian sesederhana berfungsi atau tidak berfungsinya tubuh fisik manusia, termasuk otak? Jangan-jangan cryonics malah membunuh seseorang lebih awal daripada waktu kematian alamiahnya? Jangan-jangan cryonics bukan melestarikan kehidupan tapi malah melahirkan tubuh-tubuh tanpa kesadaran?
Dalam Oxyen, Alexandre Aja tidak mencoba menjawab itu. Ia hanya menyajikan kepada kita dua realitas imajiner: realitas dunia lama yang sekarat dan realitas dunia baru yang penuh harapan.
Terlepas dari film ini, pengalaman keberagamaan memberi kita sebersit harapan. Kematian tubuh fisik sebenarnya bukanlah akhir dari kehidupan. Nabi Islam pernah mengatakan, ketika mati, kesadaran-diri kita justru terbangun dari mimpi panjang. Pengalaman-pengalaman dekat maut (near death experience) seperti menunjukkan kepada kita, bahwa ketika aktivitas tubuh fisik, termasuk otak, melemah, aktivitas jiwa (spirit) kita justru meningkat. Dalam kondisi seperti demikian, tak sedikit orang yang menerima limpahan pengalaman spiritual dan mistikal.[]