The Book of Ikigai karya Ken Mogi memandu kita menelusuri tradisi bangsa Jepang yang berkaitan dengan etos hidup mereka. Buku ini uniknya bisa menjadi panduan wisata budaya saat Anda mengunjungi Negeri Sakura.
Bagaimana dunia melihat Jepang? Jawabannya bisa bermacam-macam.
Sebagian Anda mungkin mengenal Jepang melalui manga atau anime (animasi Jepang). Anda merasakan keunyuan bangsa ini, atau heroisme mereka. Sebagian lain mungkin mengenal Jepang melalui video-video porno dengan Maria Ozawa atau Miyabi sebagai salah satu pemeran terkenalnya. Drama seri semi-biografi The Naked Director menggambarkan bagaimana Jepang merevolusi teknik dan gaya dalam industri film dewasa.
Kemudian, tak sedikit pula yang mengagumi bangsa Negeri Matahari Terbit ini karena keuletan, keapikan, kebersihan, kecepatan, ketepatan, keefisienan, dan perhatian mereka pada kualitas tinggi dalam banyak bidang. Shinkansen, kereta cepat Jepang, dan juga transportasi publik lainnya, beroperasi tepat waktu dan rapi. Dalam pertandingan-pertandingan sepakbola Piala Dunia, dunia dibuat takjub ketika menyaksikan bagaimana penonton Jepang serempak membersihkan sampah bekas makanan dari bangku-bangku stadion.
Dunia dibuat terkesan dengan karakter-karakter tersebut. Tapi, menurut Ken Mogi dalam The Book of Ikigai, semua itu sebenarnya biasa saja bagi orang Jepang, dan bahkan sesuatu yang telah mereka lakukan sehari-hari sejak kecil.
The Book of Ikigai (atau The Little Book of Ikigai dalam edisi bahasa Inggris) adalah salah satu karya Mogi yang telah diterjemahkan dari bahasa Jepang selain Creativity and the Brain. Dia telah menulis lebih daripada 100 buku tentang sains dan pengembangan diri, yang keseluruhannya terjual total lebih daripada satu juta eksemplar. Selain menulis, Mogi adalah seorang neurosaintis dan penyiar.
- Judul: The Book of Ikigai: Untuk Hidup Seimbang, Lebih Bahagia dan Panjang Umur
- Penulis: Ken Mogi
- Penerbit: Noura Books
- Terbit: Agustus 2021 (Cetakan ke-7)
- Tebal: 190 halaman
Melalui buku ini, Mogi ingin mengungkap rahasia di balik “yang biasa-biasa saja” dari orang Jepang tapi bisa membuat bangsa lain takjub. Rahasia itu adalah ikigai.
Apa itu ikigai? Ikigai adalah istilah dalam bahasa Jepang yang secara harfiah berarti ‘alasan (gai) untuk hidup (iki)’. Sebagaimana dalam bahasa kebudayaan lain, dalam kebudayaan Jepang, ikigai sudah menjadi istilah sehari-hari sampai-sampai orang Jepang sekalipun, menurut Mogi, belum tentu memahami arti denotasinya. Jika sudah sedemikian rupa terpatri dalam kebudayaan suatu bangsa, menurut psikolog asal Inggris pada akhir Abad ke-19 Francis Galton, sebuah kata atau istilah menunjukkan sifat atau karakter penting bangsa itu.
Ikigai pernah disebut oleh penulis Amerika dan anggota National Geographic, Dan Buettner, sebagai etos hidup yang membuat orang Jepang bisa berusia panjang. Buettner membandingkan tempat-tempat dengan angka harapan hidup tinggi, yakni Okinawa di Jepang, Sardinia di Italia, Nikoya di Kosta Rika, Ikaria di Yunani, dan Loma Linda di California. Dari semua tempat itu, Buettner mendapati populasi di Okinawa menikmati usia yang lebih panjang.
Jika kita bicara statistik angka harapan hidup di dunia, Jepang selalu berada di puncak. Rata-rata lelaki Jepang bisa hidup 80,2 tahun sementara perempuan Jepang 87,2 tahun. Banyak sumber menyebut kunci angka harapan hidup fantastis di Jepang adalah pola makan orang Jepang: lebih suka makan ikan ketimbang daging dan makan dengan porsi yang kecil. Dalam buku ini, Mogi menjelaskan kunci lain yang lebih penting, yaitu ikigai.
Ada lima pilar ikigai menurut Mogi. Pertama, awali dengan hal kecil. Kedua, bebaskan dirimu. Ketiga, keselarasan dan kesinambungan. Keempat, kegembiraan dari hal-hal kecil. Kelima, hadir di tempat serta waktu sekarang.
Mogi tidak membahas satu demi satu kelima pilar tersebut. Alih-alih demikian, dia menceritakan kisah-kisah tradisi dan kebiasaan unik orang Jepang yang berkaitan dengan ikigai. Tradisi dan kebiasaan mereka sehari-hari inilah yang tanpa disadari telah menerapkan kelima pilar ikigai itu.
Hasilnya, buku ini menjadi menarik karena kita bisa menjelajahi tradisi kuno dan kebiasaan sehari-hari bangsa Jepang yang mungkin belum kita ketahui. Buku ini juga seakan menjadi panduan wisata antropologis ke Negeri Sakura. Kita bisa mengetahui filosofi hidup di balik destinasi-destinasi wisata di Jepang. Dengan membaca buku ini, kita bisa memotivasi diri sekaligus menikmati perjalanan wisata budaya di Jepang.
Salah satu kisah unik yang disampaikan oleh Mogi adalah Sembikiya, jaringan toko buah-buahan yang didirikan sejak 1834. Toko-toko Sembikiya menjual buah-buahan berkualitas super. Jika mengunjungi salah satu gerainya di kawasan Tokyo, anda akan menemukan melon seharga 20 ribu yen atau 2,4 juta rupiah per buah. Melon ini diberi nama muskmelon karena rasa kasturinya yang khas.
Mengapa toko seperti ini ada di Jepang? Ini, menurut Mogi, karena orang Jepang sangat terobsesi dengan hal-hal berkualitas tinggi, termasuk dalam buah-buahan. Buah-buahan berkualitas tinggi ini biasanya diberikan sebagai hadiah kepada orang-orang terkasih yang mencapai kesuksesan atau berprestasi di bidangnya.
Dengan menyampaikan kisah itu, Mogi ingin mengatakan bahwa obsesi akan kualitas tinggi mensyaratkan perhatian kepada hal-hal kecil. Petani di Jepang sangat memperhatikan kualitas panen mereka: mempersiapkan tanah, merencanakan pengairan yang optimal, dan memilih varietas benih dengan sangat hati-hati. Setiap langkah dipertimbangkan dengan saksama dan dieksekusi satu demi satu dengan teliti.
Muskmelon yang dijual di Sembikiya, misalnya, bisa tumbuh karena petani menerapkan metode “satu batang untuk satu buah”. Dengan metode ini, nutrisi hanya mengalir ke satu target buah.
Dalam budaya Jepang, memulai dari hal kecil dan melaksanakan setiap langkahnya secara sempurna dikenal dengan etos “kodawari”. Orang- orang yang memiliki kodawari tidak akan puas dengan “hal yang biasa-biasa saja”. Mereka tidak akan berhenti mengejar kualitas yang melebihi “yang biasa saja”. Menghasilkan “hal yang biasa-biasa saja” sebenarnya “sudah cukup” tapi mereka yang mempunyai kodawari akan berupaya melampaui itu.
“Cukup baik tidak akan cukup baik bagi orang-orang yang memiliki kodawari. Anda bisa saja menyebutnya kesintingan kreatif,” tulis Mogi.
Di Jepang, kodawari adalah kebiasaan yang dilakukan orang-orang biasa, dari pemilik warung-warung kecil yang menjual mi ramen hingga pemilik restoran yang menjual daging tuna. Oleh karena itu, di Jepang, para turis bisa melihat banyak restoran dan bar kecil yang dimiliki dan dioperasikan oleh pribadi-pribadi daripada konglomerasi. Tempat-tempat itu memiliki suasana lokal, unik, dan individual yang mencerminkan pribadi pemiliknya.
Pembuat dan penjual mi ramen sangat memperhatikan bagaimana mi dipersiapkan, pilihan bahan-bahannya dan variasinya, serta pengelolaan kuahnya. Saking terobsesinya orang Jepang pada hal-hal kecil, Mogi mengatakan, begitu dua orang Jepang mulai berdebat tentang ramen terbaik, bisa dipastikan perdebatan itu tidak akan berujung.
Para pelanggan pun akan sangat memperhatikan cara yang tepat untuk menyantap dan menikmati ramen. Ini karena, menurut Mogi, orang Jepang selalu ingin menikmati kesempurnaan yang fana, seperti menyantap ramen terenak, memakan muskmelon termahal, dan menikmati Sakura di musim semi. Apa yang sementara dalam hidup harus dinikmati dengan cara tertentu yang tak akan mungkin terlupakan. Etos ini memberi kesenangan dan kebahagiaan bagi orang Jepang.
Perhatikanlah! Dari kisah tersebut, Mogi telah menjelaskan tiga pilar ikigai: mengawali dari hal kecil, bergembira dari menikmati hal-hal kecil (fana), dan menghadirkan diri pada tempat dan waktu sekarang.
Cara Ken Mogi mengulas ikigai dalam buku ini menjadikan buku ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan buku lain tentang pengembangan diri. Mogi selalu berfokus pada kisah-kisah unik orang Jepang. Dia bahkan nyaris tidak memulai pembahasan dari segala teori tentang pengembangan diri.
Salah satu kebiasaan lain orang Jepang yang dipaparkan oleh Mogi adalah kepiawaian mereka menyerap, menyesuaikan, dan menguasai sesuatu yang datang dari luar. Mogi menyebut sejumlah contoh, seperti penggunaan karakter huruf Cina kuno, teknik pembuatan mangkuk dari Cina, teknik pembuatan taman dari Inggris, dan bahkan bisbol yang diimpor dari Amerika Serikat.
Untuk yang terakhir, kita pasti tahu bahwa bisbol Jepang atau yang biasa dikenal dengan yakyu berbeda dengan bisbol di Amerika Serikat. Setidaknya, bola bisbol Jepang lebih besar dan keras daripada bola bisbol Amerika.
Meskipun diimpor dari Amerika Serikat pada Abad ke-19, bisbol Jepang kini lebih populer ketimbang bisbol Amerika. Tim nasionalnya, yang konsisten menjadi yang terbaik di dunia, dianggap pahlawan dan berita-berita dari pertandingan bisbol di Jepang sangat ditunggu-tunggu oleh siswa-siswa sekolah.
Di Jepang, sebuah pertandingan bisbol bahkan lebih intens daripada di Amerika. Para fan biasanya bernyanyi dan menari untuk mendukung tim mereka. Penulis Amerika Robert Whiting pernah mengatakan bahwa pandangan hidup bangsa Jepang, yang menekankan pada identitas kelompok, kerjasama, kerja keras, dan penghormatan pada senioritas telah merasuki hampir setiap aspek olahraga ini. Bahkan, atlet bisbol Amerika yang datang ke Jepang untuk bermain di Liga Profesional Bisbol Jepang harus beradaptasi dengan bisbol ala Samurai ini.
Menurut Mogi, kepiawaian bangsa Jepang menyerap dan merevolusi apa yang datang dari luar dimulai dari rasa keingintahuan yang besar. Orang Jepang sejak kecil selalu ditekankan untuk memiliki rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu menjadi elemen terpenting dari pilar ikigai “memulai dari yang kecil”. Sebab, di antara hal-hal kecil itu adalah rasa ingin tahu.
Setelah Perang Dunia Kedua, komandan tertinggi sekutu, Jenderal Douglas MacArthur, pernah menyebut bangsa Jepang sebagai bangsa yang belum dewasa. Pada masa itu, pernyataan itu mungkin bermaksud mengejek bangsa Jepang. Tapi saat ini, pernyataan itu justru lebih dilihat sebagai nilai plus bangsa Jepang. Sebab, hanya jiwa anak-anaklah yang selalu memiliki rasa ingin tahu.
Oleh karena itu, untuk memperoleh ikigai, menurut Mogi, kita harus menjadi sosok Peterpan. Jiwa anak-anak harus terus ada dalam diri kita.
Salah satu tradisi bangsa Jepang yang tak mungkin hilang dari ingatan banyak orang adalah anime. Salah satu animator terkenal dari Studio Ghibli, Ayako Miyazaki, pernah mengatakan bahwa penghargaan sejati terhadap karyanya bukan datang dari imbalan finansial yang dia peroleh tapi dari kesenangan saat mencipta. Pernyataan Miyazaki tersebut menunjukkan bahwa sang animator menerapkan prinsip ikigai, yaitu hadir di tempat dan waktu sekarang.
“Hadir di tempat dan waktu sekarang”, menurut Mogi, selaras dengan kondisi flow (mengalir) yang dicetuskan psikolog Amerika kelahiran Hungaria, Mihaly Csikszentmihalyi. Flow adalah kondisi saat orang begitu tenggelam dalam satu pekerjaan atau satu momen berkarya, sehingga tidak ada hal lain lagi yang penting baginya. Di sinilah, orang menemukan kesenangan dalam berkarya dan bekerja, yang jauh lebih besar daripada sekedar imbalan finansial.
Kondisi flow bukan hanya tentang menghargai keberadaan di tempat dan waktu sekarang, tapi lebih dari itu kondisi ini membebaskan kita dari beban ambisi serta ilusi diri dan persepsi orang lain. Inilah pilar lain ikigai, yaitu membebaskan diri. Kondisi flow juga sebenarnya kerap terjadi pada seorang anak sebab anak-anak tidak menyimpan ingatan masa lalu dan gagasan tentang masa depan. Kebahagiaan seorang anak selalu berada pada waktu dan tempat sekarang.
Ketika bekerja dan berkarya dalam kondisi flow, anda akan mampu memperhatikan hal-hal kecil, sehingga kualitas pekerjaan anda pun meningkat. Anda juga telah memperoleh kesenangan dalam pekerjaan anda meskipun imbalan eksternal tak kunjung datang, entah itu pujian ataupun uang. Anda tak akan kecewa karena anda telah menikmati kesenangan dalam berkarya.
“Jadi buatlah musik meski tak ada seorang pun yang mendengar. Lukislah sebuah gambar meski tak ada seorang pun yang melihat. Tuliskanlah sebuah cerita singkat yang tak akan dibaca orang. Kesenangan batin dan kepuasan akan lebih dari cukup untuk menyemangati hidup anda,” tulis Mogi.
Kisah lain yang disampaikan Mogi, dan menarik bagi saya, adalah tentang Kuil Ise. kuil ini adalah salah satu kuil tertua dan institusi terpenting dari agama asli bangsa Jepang, Shinto. Kuil ini terletak di bagian barat Jepang, di atas lahan seluas 5500 hektare. Kuil ini dianggap paling keramat dan dipersembahkan bagi Dewi matahari, Amaterasu. Keluarga kekaisaran Jepang dianggap keturunan dari Sang Dewi.
Kuil ini mengalami renovasi secara berkala setiap 20 tahun selama 1200 tahun. Renovasi terakhir terjadi pada 2013 dan renovasi berikutnya telah dijadwalkan pada 2033.
Renovasi Kuil Ise dilakukan dengan pertimbangan saksama dan persiapan serius serta teliti. Sebagai contoh, pohon hinoki atau cemara Jepang harus ditanam lebih dulu selama beberapa dekade untuk menghasilkan balok-balok kayu yang menjadi bahan baku utama bangunan kuil. Kuil Ise memiliki cadangan pepohonan hinoki di seluruh penjuru negeri. Sebagian balok kayu yang digunakan untuk kuil harus memiliki ukuran tertentu, dan fungsi ini hanya dapat dipenuhi oleh pohon-pohon yang berumur lebih daripada 200 tahun. Demikian pula, ada teknik-teknik pertukangan khusus yang digunakan karena bangunan kuil dibangun tanpa menggunakan satu paku pun. Para tukang kayu yang didedikasikan untuk renovasi kuil ini juga menjalani pelatihan khusus. Ini bagian penting bagi kelestarian kondisi kuil. Para tukang kayu itu akan mewariskan teknik dan pengalaman membangun kuil dari satu generasi ke generasi tukang berikutnya.
Pemeliharaan keaslian Kuil Ise selama ribuan tahun adalah hal yang sangat menakjubkan. Waktu senantiasa berubah. Pemerintahan datang dan pergi. Tapi, Kuil Ise tetap terjaga dalam kondisi murninya selama ribuan tahun.
Inilah salah satu pilar terpenting dari ikigai: keselarasan dan kesinambungan. Di Jepang, individu-individu memang mengejar keinginan-keinginan pribadinya tapi selalu menyeimbangkan atau menyelaraskannya dengan kondisi masyarakat dan lingkungan.
Orang Jepang, menurut Mogi, tidak terlalu suka memamerkan kemewahan berlebihan karena ada kearifan tradisional bahwa praktik semacam itu akan melukai harmoni sosial. Meskipun ada kultur selebritas di Jepang, kita tidak akan menemukan Justin Bieber atau Paris Hilton di Negeri Sakura itu.
Orang Jepang melakukan pembatasan keinginan diri ketika tampil di muka publik. Ini telah menjadi semacam estetika yang elegan. Bangsa Jepang selalu ingin melihat keindahan dalam kesederhanaan atau yang biasa disebut “wabisabi”. Bangsa Jepang lebih mengejar sesuatu dengan cara tenang tetapi langgeng daripada kepuasan yang berumur pendek.
Oleh karena itu, banyak institusi budaya Jepang yang terus terpelihara setelah ribuan tahun. Salah satunya adalah kekaisaran Jepang yang merupakan monarki tertua di dunia. Institusi budaya lain yang telah berusia berabad-abad antara lain adalah drama musikal klasik Jepang atau Kabuki dan berbagai seni seperti Ikebana dan budaya upacara minum teh.
“Kelestarian adalah seni kehidupan…manusia itu ibarat hutan, individual tetapi terhubung dan bergantung kepada yang lain untuk bertumbuh,” tulis Mogi.
Satu hal penting yang layak dikutip dari buku ini adalah fenomena yang disebut oleh para peneliti dengan “ilusi terpusat”. Ilusi terpusat merujuk kepada sebuah fenomena ketika orang-orang begitu terfokus pada aspek tertentu sampai-sampai dia percaya bahwa seluruh kebahagiaannya bergantung pada aspek itu.
Contohnya, orang memiliki ilusi terpusat bahwa pernikahan akan membuat mereka bahagia, bahwa punya anak akan membuat mereka bahagia, bahwa memiliki banyak uang akan membuat mereka bahagia. Padahal, pada kenyataannya, hanya dibutuhkan sedikit elemen kecil untuk bisa berbahagia. Saat memiliki ilusi terpusat, anda telah menciptakan alasan untuk tidak bahagia. Jika tak kunjung menikah, maka anda tidak bahagia. Jika tak kunjung punya anak, anda tidak akan bahagia. Jika tak kunjung kaya, anda pun tidak akan bahagia. Jika ketidakbahagiaan itu merupakan ruang kosong karena tidak adanya elemen-elemen tersebut, maka pada hakikatnya kekosongan tersebut diciptakan oleh khayalan dan ilusi.
Membebaskan diri dari beban ilusi diri dan persepsi sosial, dan juga bergembira karena hal-hal kecil, merupakan dua pilar ikigai. Keduanya merupakan upaya untuk tidak terjebak ke dalam “ilusi terpusat” tadi. Ini bisa membuat anda bahagia dalam kondisi apa pun. Ketika tidak menikah, anda bisa tetap bahagia. Ketika tidak punya anak, anda bisa tetap bahagia. Ketika tidak punya uang banyak, anda pun bisa tetap bahagia.
Oleh karena itu, konsep “menerima diri sendiri” adalah hal yang paling penting dalam ikigai tapi paling sulit untuk dilakukan. Menerima diri sendiri melibatkan upaya membebaskan diri dan menemukan kesenangan pada hal-hal kecil.
Kebahagiaan berasal dari penerimaan diri sendiri. Pengakuan dari orang lain hanyalah bonus. Berfokus pada hal itu bisa menghambat penerimaan diri.
Inilah rahasia terbesar dari ikigai, yaitu menerima diri sendiri apa pun ciri-ciri unik yang kita miliki. Sebab, tidak ada satu cara optimal untuk berbahagia. Kita hanya harus mencari sendiri di tengah rimba individualitas kita masing-masing.
Pada akhirnya, meskipun menjelaskan ikigai dalam budaya dan tradisi bangsa Jepang, Mogi menegaskan bahwa ikigai atau apa pun namanya tidaklah identik dengan satu bangsa. Apa yang ditradisikan oleh orang Jepang kemungkinan besar juga dipraktikkan oleh bangsa lain di tempat lain. Konsep ikigai dengan demikian mempunyai implikasi jauh yang melampaui batas-batas geografis. Di antara ribuan macam budaya di dunia ini, sangat mungkin terdapat sejumlah konsep yang serupa dengan ikigai.
Ikigai pun bukan berasal dari sistem nilai yang tunggal dan tidak tertulis dalam aturan agama. Ia berasal dari penerimaan kita kepada spektrum-spektrum kecil yang kaya dan beragam.
Seorang master karate berusia 102 tahun di Okinawa mengatakan kepada Buettner bahwa ikigainya adalah merawat seni bela diri ini. Lalu, seorang nelayan berusia 100 tahun mengatakan bahwa ikigainya adalah terus menangkap ikan bagi keluarganya. Seorang wanita berusia 100 tahun berkata bahwa ikigainya adalah menggendong cicit perempuannya.
Jadi, mari rayakan diri kita sendiri![]