JELAJAH LITERASI

Polemik Kebudayaan (I): Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia – Prae – Indonesia[1]

in Nukilan by

Oleh Sutan Takdir Alisjahbana

Catatan redaksi: polemik kebudayaan adalah momen pergulatan pemikiran di kalangan budayawan Indonesia pada 1930-an. Satu bagiannya adalah polemik seputar apakah zaman Indonesia modern pada awal Abad ke-20 merupakan kelanjutan zaman sebelumnya ataukah justru sama sekali baru. Bagian ini diisi dengan saling balas tulisan antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka. Perdebatan mereka dan tokoh-tokoh budayawan lainnya dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja dan dijadikan buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1948. Kami menghadirkan tulisan Alisjahbana, Pane, dan Mihardja secara berseri.

BERBICARA tentang masyarakat dan kebudayaan baru, yang dimaksud tentu adalah masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, yakni masyarakat dan kebudayaan yang tergambar dalam hati semua penduduk kepulauan ini, terutama yang mengharapkan tempat yang layak bagi negeri dan bangsanya, berdampingan dengan bangsa lain di muka bumi  ini. Untuk membicarakan masyarakat dan kebudayaan Indonesia Raya, pertama sekali kita harus memahami arti Indonesia sejelas-jelasnya, terlepas dari segala bungkusan dan tambahan yang mengaburkannya.

Sesungguhnya, arti kata “Indonesia” sekarang ini sudah sangat kacau. Menurut para ahli bangsa, kata “Indonesia” dipakai untuk melingkupi seluruh penduduk di daerah yang membentang dari Pulau Formosa sampai ke Pantai Samudra Hindia, dari Madagaskar sampai ke Nieuw Guinea. Dalam pergaulan sehari-hari di negeri kita kata itu telah sangat populer.

Bagaimanapun menggembirakannya kepopuleran — menjadi lazimnya — kata “Indonesia” itu, tetapi satu hal tidak boleh kita lupakan: lantaran kepopuleran atau kelaziman itu artinya menjadi amat meluas sehingga menjadi kabur.

Segala yang ada dan yang terjadi, segala yang pernah ada dan pernah terjadi di lingkungan kepulauan kita ini, diberi nama “Indonesia”.

Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain-lain telah dijadikan pahlawan Indonesia. Borobudur telah menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa silam, musik gamelan sudah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah menjadi buku hasil kesusastraan Indonesia.

Padahal ketika Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain-lain itu berjuang, dahulu belum ada dan belum tercium perasaan keindonesiaan. Diponegoro berjuang untuk Tanah Jawa, itu pun sepertinya tidak dapat kita katakan untuk seluruh Tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol berjuang untuk Minangkabau. Teuku Umar untuk Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini baik Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Teuku Umar tidak akan menyerang bagian kepulauan yang lain sekiranya mereka dulu mendapatkan kesempatan?

Buku Polemik Kebudajaan yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1948

Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat yang bernyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam Abad Kedua Puluh ini.

Apa pula hubungannya musik gamelan dengan perasaan keindonesiaan. Bahkan, buku Hang Tuah menurut ukuran sekarang jelas dapat dikatakan anti-Indonesia, sebab di dalamnya terdapat bagian-bagian yang menghina suku bangsa dalam wilayah kepulauan ini [2].

Sesungguhnya orang telah mengacaukan, mencampuradukkan segala eksistensi dan peristiwa dalam lingkungan kepulauan ini dengan segala eksistensi dan peristiwa yang dipengaruhi oleh munculnya — atau setidaknya yang erat kaitannya dengan — semangat baru di lingkungan kepulauan ini, yaitu semangat keindonesiaan.

Ke dalam pengertian “Indonesia” itu, diam-diam orang memasukkan beberapa hal yang sama sekali tak ada kaitannya dengan perasaan keindonesiaan. Hal itu lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Bahkan sesungguhnya mengaburkan tali persatuan yang terasa oleh seluruh penduduk kepulauan ini. Ia memberi hak memakai kata Indonesia kepada mereka yang tidak berhak memakainya.

Tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, yang sesungguhnya digerakkan oleh semangat keindonesiaan dihambatnya. Hal ini dikarenakan pengertian Indonesia yang sejati telah kabur, menjadi cerai-berai. Untuk mempercepat dan mengukuhkan tumbuhnya masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang sejati, perlu sekali pengertian keindonesiaan itu dibersihkan sehingga menjadi jelas juga hakikatnya.

Kita mesti membuat kata “Indonesia” ini menjadi jelas. Jika perlu kita tidak boleh takut memakai pisau untuk membuang benalu dan parasit pada pohon keindonesiaan itu.

“Indonesia” yang timbul di kalangan bangsa kita, tidak dapat kita lepaskan dari perasaan dan semangat keindonesiaan. Semangat keindonesiaan itu merupakan ciptaan generasi Abad Kedua Puluh, sebagai penjelmaan kebangkitan jiwa dan tenaga.

Semangat Indonesia itu sesuatu yang baru, menurut isi dan menurut bangunnya. Ia tidak bertopang pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang kebesarannya dulu menguasai sebagian besar dari kepulauan ini, bukan pelopor keindonesiaan. Sebab waktu itu, suatu wilayah sama sekali tidak suka dikuasai oleh wilayah lain. Baik di dalam bangunan Sriwijaya maupun di dalam bangunan Majapahit tidak ada sedikit pun hakikat semangat Indonesia, yaitu kemauan untuk bersatu yang didesak oleh kesadaran akan kepentingan dan cita-cita bersama.

Semangat Indonesia juga bukan berdasarkan asal bangsa atau ras yang satu, sebagaimana menurut hasil penelitian para ahli Barat. Meskipun penelitian di kemudian hari membuktikan bahwa yang mendiami kepulauan ini bukan hanya satu jenis bangsa [3], semangat Indonesia akan tetap hidup. Sebab ia lahir dari dasar semangat membaja suatu generasi muda yang lebih kukuh dari segala teori keturunan. Setinggi-tingginya teori keturunan yang mati itu hanya dapat memberi kekuatan dan kepercayaan kepada mereka yang lemah, yang perlu dorongan dari belakang. Namun bagi mereka yang kuat tulang belakangnya, adalah mengatasi segala dorongan kemauan, cita-cita, dan keyakinan yang bernyala-nyala, yang berkobar-kobar di dalam hatinya.

Sangat perlu dikatakan dengan tegas, bahwa sejarah Indonesia dimulai pada Abad Kedua Puluh, ketika lahir generasi baru di wilayah Nusantara ini, yang dengan sadar ingin menempuh jalan baru untuk bangsa dan negerinya. Zaman sebelum itu, zaman hingga akhir Abad Kesembilan Belas, ialah zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Hindia Belanda atau Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.

Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah Indonesia, itu setinggi-tingginya hanya dapat menegaskan pandangan dan pengertian tentang lahirnya zaman Indonesia. Namun, zaman Indonesia sama sekali bukan kelanjutan atau terusan dari zaman sebelumnya. Sebab dalam isi dan bentuknya, keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi baru bukan kelanjutan dari Mataram, bukan kelanjutan kerajaan Banten, bukan kerajaan Minangkabau, atau Banjarmasin.

Menurut susunan pikiran ini, kebudayaan Indonesia pun tidak mungkin merupakan kelanjutan kebudayaan Jawa, kelanjutan kebudayaan Melayu, kelanjutan kebudayaan Sunda, atau kebudayaan yang lain. Pekerjaan Indonesia Muda bukanlah merestorasi Borobudur dan Prambanan,[4] bukan pula mendirikan bangunan lain yang serupa dengan itu. Pekerjaan yang pertama dapat kita serahkan kepada para ahli purbakala, yang akan mencari batu yang telah dimakan zaman, yang akan membalik buku-buku tua untuk mengetahui bagaimana bentuk asli bangunan-bangunan itu. Sementara, pekerjaan yang kedua (mendirikan bangunan lain yang serupa dengan yang sebelumnya, cat. peny.) ialah pekerjaan mereka yang kepandaiannya hanya mengulang dan meniru. Indonesia Muda yang kuat degup jantungnya, yang darah mudanya deras mengalir, hanya akan membuka mata, membuka telinga, membuka pikiran, untuk segala hal yang diterimanya. Dengan jalan demikian, informasi dari seluruh dunia kemudian dicerna di dalam jiwanya.

Dan ia akan menciptakan sesuatu yang dimilikinya sendiri, cap Indonesia.

Sebab dalam hati kecilnya ia yakin seyakin-yakinnya bahwa tinggi rendahnya vonis sejarah atas dirinya bukan bergantung pada berapa banyak puja-puji, menghormati dan meniru yang lama. Namun, pada apa yang dapat dibangunnya, yang lahir dari dasar jiwanya sendiri, yang setara bahkan melebihi zaman lampau.

Jadi, bagaimanakah hubungan kebudayaan Indonesia yang sedang akan timbul, dengan kebudayaan zaman pra-Indonesia?

Tentang hal ini pun, ada baiknya kita perjelas. Sebab dalam ketidakjelasan ia dapat menyimpan dan melindungi bibit kedaerahan yang sama sekali belum lenyap dalam masyarakat kita.

Pada pikiran saya, pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar dari warisan kebudayaan zaman pra-Indonesia. Bebas bukan berarti tidak tahu seluk beluknya. Bebas hanya berarti tidak terikat. Sebab siapa pun yang belum dapat melepaskan dirinya dari kebudayaan Jawa akan berusaha memasukkan semangat kejawaan ke dalam kebudayaan Indonesia. Yang belum terlepas dari kebudayan Melayu akan berupaya memasukan semangat kemelayuan ke dalam kebudayaan Indonesia dan demikian seterusnya. Bagi mereka yang berpikir demikian, kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Jawa atau kebudayaan Melayu yang sedikit baru.

Hal itu berarti menimbulkan perselisihan dalam lingkungan Indonesia Muda sendiri.  Suku Jawa tak akan senang jika yang disebut kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan Melayu yang diubah sedikit. Sebaliknya, suku yang lain pun tidak akan senang jika kebudayaan Indonesia merupakan kebudayaan Jawa yang diubah sedikit.

Sesungguhnya, mengaitkan ke masa yang sudah lampau berarti membangkitkan perselisihan. Sebab pada zaman pra-Indonesia bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara ini tak pernah mempunyai kemauan, cita-cita, dan pikiran bersatu dan berhubungan sehingga tak pernah melahirkan kebudayaan dengan semangat demikian.

Berarti kemauan bersatu yang mengandung semangat Indonesia tidak sedikit pun berurat akar ke masa yang silam, tetapi sebaliknya bertumpu ke masa yang akan datang dengan harapan agar mampu berdampingan secara bersama bangsa-bangsa lain di kemudian hari. Dengan meyakini bahwa yang diharapkan dan dicita-citakan itu hanya mungkin tercapai dengan bersatu melakukan pekerjaan bersama-sama.

Maka sudah selayaknya mewujudkan cita-cita persatuan yang tidak berurat akar pada masa yang silam, tetapi pada harapan kemuliaan di kemudian hari, tidak terpaku mencari ramuan di masa yang silam.

Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cari sesuai dengan kebutuhan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan bangsa kita terutama sekali berdasarkan atas kepentingan bersama. Hakikat kepentingan bersama ialah bersama-sama mencari alat dan berupaya keras agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad mandeg, mati, menjadi dinamis, menjadi hidup. Karena hanya masyarakat yang dinamis yang dapat berlomba di lautan dunia yang luas.

Sudah sewajarnya pula alat untuk menumbuhkan masyarakat yang dinamis terutama sekali kita cari di negeri yang dinamis pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang telah menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia dewasa ini mencapai kebudayaan yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, dan Jepang.

Demikian saya meyakini bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh sekarang ini akan terdapat sebagian besar unsur Barat, unsur yang dinamis. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sebuah bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil unsur-unsur dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.

Dan sekarang tiba waktunya mengarahkan pandangan kita ke Barat.

Jika dulu begitu banyak pengaruh kebudayaan Hindu dan Arab atas negeri kita ini, pastilah sekurang-kurangnya pengaruh Barat akan sama dengan pengaruh kedua kebudayaan itu. Namun, tidak mustahil bahwa pengaruh itu dapat lebih besar lagi.

Bayangkanlah jarak antara Hindustan dengan negeri kita sepuluh abad yang lalu, sekurang-kurangnya harus ditempuh dengan waktu sebulan pelayaran. Sedang jarak antara negeri kita dengan Eropa sekarang ini (tahun 1935, cat. peny.) hanya butuh waktu tiga hari penerbangan. Hubungan dan pergaulan antara bangsa kita dengan bangsa Barat sekarang ini jauh lebih erat ketimbang dengan guru-guru bangsa saat membangun Borobudur seribu tahun silam.

Ucapan yang secara gamblang mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan bangsa kita harus tumbuh mengarah ke Barat, boleh jadi akan membangkitkan amarah beberapa golongan di negeri sekarang ini. Sebab ada di antaranya yang dengan tidak sengaja dan tidak sadar meninabobokan rakyat banyak dengan ucapan-ucapan kosong dan tidak berarti: Timur halus budinya, sedangkan Barat egoistis, materialistis, dan intelektualistis. Mereka yang mempunyai anggapan seolah-olah semua orang dari Timur wali yang suci dan semua orang Barat penjahat yang tidak berhati demikian pasti akan kaget mendengar ucapan yang mengatakan bahwa orang Timur harus berguru kepada orang Barat.

Sekalipun tidak enak didengar, semboyan bahwa kita harus belajar pada Barat, meskipun menyedihkan, dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih.

Sebab semangat keindonesiaan yang menghidupkan kembali masyarakat bangsa kita, yang berabad-abad seolah mati ini, pada hakikatnya kita peroleh dari Barat: Budi Utomo, lahir seperempat abad silam di kalangan rakyat yang mendapat didikan Barat dan bergaul dengan Barat. Cara berorganisasi yang dipakai sebagai pengganti persatuan menurut keturunan dan tempat tinggal yang terdapat dalam pra-Indonesia ialah dengan cara Barat. Bahkan dalam segala pergerakan kebangkitan bangsa kita menggunakan organisasi cara modern, yang tampil memimpin adalah mereka yang mendapat didikan Barat atau sekurang-kurangnya yang dapat pengaruh Barat. Malah “Indonesia” yang kita banggakan sekarang ini kita peroleh dari bangsa Barat.

Apabila nyata kepada kita bahwa semangat kesadaran, semangat kebangkitan, semangat kebangsaan yang kita namakan semangat keindonesiaan itu sebagian besar berasal dari Barat atau sekurang-kurangnya dengan perantaraan Barat, wajarlah bila masyarakat dan kebudayaan yang dilahirkan banyak mengandung unsur kebaratan. Jika tidak demikian, tidaklah sesuai jiwa dengan bentuk, semangat dengan kerangkanya. Dalam keadaan demikian pastilah kedua-duanya, baik semangat maupun bentuk tidak sehat tumbuhnya. Semangat kurang kuat getarnya sehingga tidak melahirkan bentuk yang sesuai dengan dirinya. Sebaliknya, bentuk yang membaluti semangat itu adalah bentuk yang mati, yang di dalamnya tidak menyala-nyala jiwa yang hidup, yang sesuai dengan dirinya.

Jelas bagi kita bahwa semangat keindonesiaan semestinya, tidak bisa tidak, akan melahirkan masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dari masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia.

Hal itu sama sekali bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tidak terdapat unsur pra-Indonesia sedikit pun. Pertentangan semangat Indonesia dengan semangat pra-Indonesia bukanlah pertentangan seratus persen, bukan pertentangan dalam segala hal. Dalam membangun bentuk yang sesuai dengan hakikatnya itu, semangat Indonesia pasti akan menyerap beberapa unsur dari nilai-nilai masyarakat yang silam yang sesuai dengan dirinya. Dalam masyarakat Indonesia akan terdapat bagian-bagian yang berasal dari masa pra-Indonesia, meskipun bagian-bagian itu akan mendapat arti yang berbeda, yang modern, dan sesuai dengan semangat baru.

Lagipula kita harus ingat bahwa di samping kebudayaan pra-Indonesia yang banyak mengandung semangat Barat atau universal dewasa ini, untuk sementara masih tetap akan hidup kebudayaan pra-Indonesia berupa kebudayaan daerah. Kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, kebudayaan Melayu, dan lain-lain untuk sementara belum mati, malah boleh jadi beberapa di antaranya akan mencapai kemajuan pula.

Meskipun demikian ada kemungkinan sekali waktu dari kebudayaan daerah-daerah itu untuk naik ke permukaan dan ikut mewarnai kebudayaan Indonesia. Sebelum itu terjadi dan umum berlaku, kita harus jelas dan tegas membedakan Indonesia dengan kebudayaan pra-Indonesia. Kebudayaan mereka yang telah terlepas dari pikiran kedaerahan dari kebudayaan mereka yang masih terikat dengan tempat dan suasana sekitarnya.  Bagi generasi muda yang merasa dirinya sebagai pembangun kebudayaan Indonesia, yang menghadapi kemegahan kebudayaan silam dan kebudayaan yang hidup di daerah-daerah, perbedaan itu bukanlah sekadar memiliki nilai teoritis. Baginya, perbedaan itu mengandung arti yang sangat dalam. Sebab untuk melepaskan yang lama, yang kecil merana itu, dengan penuh kesadaran ia menunjukkan kegembiraan masa mudanya, rasa percaya diri yang besar atas tenaga dan kecakapan diri untuk melahirkan sesuatu yang lebih besar dan luhur dari segala yang pernah timbul dan tumbuh di negerinya.

Lihat mata yang gemerlap bercahaya, muka yang merah berseri-seri, dan gigi yang putih yang belum membenam mengigit bibir!

Tidak terdengarkah Tuan napas berat turun naik, jantung memukul berdegup sampai ke leher?

Lihat, lihatlah panji-panji bergelung-gelung ditiup angin!

Lihat, lihatlah tali yang kuat penuh irama mengayun ke hadapan untuk maju ke muka?

Dengar, dengarlah tanah menggelegar dientak sepatu menderap!

Dengar, dengarlah tempik kegirangan memenuhi udara!

Itulah generasi baru yang tiada tertahan menuju ke puncak kemenangan tempat mata lepas jauh memandang, tempat jiwa bebas mengisap udara yang segar, tempat matahari tak terhalang menjatuhkan sinar emasnya.[] (Pujangga Baru, Tahun III, Nomor 2, Agustus 1935)

Catatan

[1] Mula-mula maksud saya akan menulis sebuah karangan yang lengkap dan panjang lebar tentang soal ini. Namun dalam mengatur pikiran dan mencari ramuan untuk susunan pikiran itu ternyata bagi  saya, soal ini sangat luas. Karangan yang demikian pasti menjadi buku yang tebal, yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengarangnya bahkan mungkin bertahun-tahun. Demikian saya ambil keputusan untuk sementara menulis karangan-karangan kecil saja yang lengkap membicarakan sebagian dari soal itu. Sekarang ini telah terpikir oleh saya akan menulis sesudah karangan pertama ini Synthese Timur dan Barat, Individualisme, dan Maatschappelijk Gevoel, Mystiek Baru, dan lain-lain.

[2] Bagi mereka yang tidak sempat membaca buku Hang  Tuah, bacalah karangan H. Overbeek “Java ini de Maleische”, Jawa 1927.

[3] Menurut ilmu pengetahuan sekarang, sesungguhnya penduduk kepulauan ini tidak hanya satu jenis. Sebab  bangsa Papua tidak termasuk rumpun bangsa Indonesia.

[4] Belakangan ini ramai dibicarakan tentang restorasi Candi Prambanan, sehubungan dengan pembicaraan subsidi Kolonial Instituut. Uang subsidi itu lebih baik dipakai di Indonesia ini daripada diberikan kepada Kolonial  Instituut. Boleh jadi dengan jalan memperbaiki Prambanan itu beberapa puluh orang akan mendapat pekerjaan, dan bila Prambanan sudah diperbaiki kelak akan banyak pelancong yang  datang kemari membawa uang. Namun, pertama sekali harus diingatkan, bahwa memperbaiki Prambanan itu tidak lebih dan tidak kurang mempertahankan mumi, mempertahankan mayat yang tidak berjiwa lagi.

Mumi, mayat pun kadang-kadang interessant, menarik hati. Namun, bagi manusia hidup, yang masih merasakan hidup yang lebih penting dan utama ialah getaran jiwanya yang gelisah mencari, berjuang, dan berbuat.

Pekerjaan restorasi ialah pekerjaan mereka yang berkepala botak dan kabur matanya oleh penyelidikan dan mempelajari masa silam dari batu-batu yang telah merana dirusak zaman. Namun, pekerjaan Indonesia Muda ialah membangun kebudayaan baru yang sesuai dengan gelora jiwa dan zamannya. Untuk itu perlu semangat yang besar, mata yang terang, dan hati yang gembira dan berani, serta terbuka untuk menerima wahyu.

Indonesia Muda harus mengingatkan bahwa Indonesia yang siang-malam melahirkan yang barulah yang akan dapat sejajar dengan negeri-negeri yang terkemuka di dunia, bukan Indonesia sebagai museum barang kuno.

Sekilas tentang Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908. Dia pendiri dan editor Pujangga Baru. Ia dikenal sebagai pelopor gerakan kesusastraan baru Indonesia modern dan juga penganjur utama modernisme. Novelnya yang terkenal adalah Layar Terkembang yang menahbiskannya sebagai seorang pengarang progresif. Ia wafat di Jakarta pada 17 Juli 1994.

Foto utama diambil dari: Sjamsuddin dan Jassin, H.B. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Gunung Agung: Jakarta. 1955.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top