JELAJAH LITERASI

Polemik Kebudayaan (II): Persatuan Indonesia

in Nukilan by

Oleh Sanusi Pane

Catatan redaksi: polemik kebudayaan adalah momen pergulatan pemikiran di kalangan budayawan Indonesia pada 1930-an. Satu bagiannya adalah polemik seputar apakah zaman Indonesia modern pada awal Abad ke-20 merupakan kelanjutan zaman sebelumnya ataukah justru sama sekali baru. Bagian ini diisi dengan saling balas tulisan antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka. Perdebatan mereka dan tokoh-tokoh budayawan lainnya dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja dan dijadikan buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1948. Kami menghadirkan tulisan Alisjahbana, Pane, dan Mihardja secara berseri.

Dalam karangan “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” dalam Pujangga Baru, yang dikutip juga dalam Suara Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah kita dalam dua bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir Abad ke-19, dan zaman Indonesia, yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat dianggap kelanjutan atau terusan zaman pra-Indonesia.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa sejarah adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan mengadakan barang dari yang tidak ada.

Dalil di atas itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dalam bidang ekonomi kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa susunan ekonomi senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya. Kelanjutan itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang menggantikannya. Namun kita tidak usah menganut Hegel, supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.

Demikian pula halnya dalam ranah sosial.

Dalam ranah budaya, ambil saja Pujangga Baru sebagai contoh. Kalau tidak ada Pujangga Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru bertentangan dalam banyak hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan.

Antara anak pedati yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana ada pertalian sejarah.

Bentuk jiwa kita sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi kepada Jung untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang kita.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro, dan Teuku Umar, belum ada keindonesiaan.

Pikiran ini kurang benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum muncul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh disebut ada imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan dengan keindonesiaan. Di Belanda pun ada pertentangan, ada hegemoni daerah (lebih) dulu, tetapi siapa dapat menyangkal bahwa kebangsaan Belanda yang sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya menanti pengakuan yang wujud?

Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan diwujudkan.

Dengan demikian, nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya mengemukakan masalah.

Sebaliknya, ia seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui kebudayaan kita sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?

Tentu kita harus mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam lembaga, adat, seni, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, tetapi kita tidak pernah mengatakan bahwa kita sanggup membangun kebudayaan yang baru sama sekali, yang tidak berhubungan dengan masa silam. Kebudayaan yang “baru” itu bersendikan kebudayaan “lama”.

Tentang bentuk kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat menimbulkan perselisihan paham. Dan di sinilah letak soal yang harus diperbincangkan.

Kita harus berdiri pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita saling mengerti.

Singkatnya, kita menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya tentang sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru.

Dasar pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.

Di Benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk mempertahankan diri. Di sana agaknya harus demikian sehingga orang harus menggunakan dan menambah kekuatannya.

Dengan demikian, timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan lahir intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa menyempurnakan akal.

Dalam susunan yang mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan sendirinya individualisme: orang mementingkan diri sendiri.

Kebudayaan Barat berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan individualisme itu. Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan imperialisme dalam bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju. Individualisme menimbulkan persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi dan sosial. Dalam seni berwujud l’art pour l’art, seni untuk seni.

Setelah Benua Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu diwujudkan asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup kebudayaan berlaku keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah sanggup mempertahankan diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum berusaha, agar tiap orang selamat sejahtera.

Ibarat orang yang mencari makanan. Makanan sudah cukup tapi membagikannya belum adil sehingga ada orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan.

Begitulah keadaan Benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?

Di Timur, lebih baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan diri, mencari jalan menaklukan alam, sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat.

Materialisme, intelektualisme, dan individualisme boleh dibilang tidak terlalu penting. Orang tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan.

Manusia justru merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya.

Pengetahuan praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi.

Di atas kita mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan sebagainya.

Keperluan dan paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada. Karena itulah mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-tingkat. Namun, meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu mencapai tingkat yang setinggi-tingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya sendiri. Tingkat tertinggi itu ada di lapisan teratas dalam kebudayaan di India dan di Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan kesunyatan, mistik, manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.

Sampai di sini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat dan Timur secara sendiri-sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang harus dan dapat diikuti oleh seluruh dunia?

Manusia mempunyai tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu lahir dan batin. Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan kehidupan tubuh jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai dan menyempurnakan akal.

Barat, sebagaimana kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa. Akalnya dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani.

Timur lebih mementingkan ruhani sehingga lupa pada jasmani. Akal dipakainya untuk mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme.

Asas dan persatuan itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, seni, dan pengetahuan.

Maka tidak boleh tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada karena pengaruh masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama.

Ke arah itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan kita.

Hal itu perlu, bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari perbedaan daerah dan zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.

Dengan demikian sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu dijelaskan landasan Indonesia yang harus diperluas itu.

Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan.

Di atas telah diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu daerah-daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing. Adakalanya terjadi pertukaran unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau karena hal lain.

Ada negeri yang erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa hubungannya dengan daerah asing.

Ringkasnya: pada asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya (tempo) kebudayaan berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada perbedaan daerah.

Kewajiban kita ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat).

Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya, karena unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak bisa dikatakan dasarnya berubah.

Dalam mengambil unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia keseluruhan dan perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari semua rasa kedaerahan, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di sini dahulu dan sekarang, serta harus bisa memahami tuntutan zaman.

Maka tidak dapat disangkal tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan itu sebagaimana mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam menjalankan kewajiban itu.

Oleh karena itu, karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, karena menyuluhinya dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang semangat kedaerahan.[] Suara Umum, Nomor 276, 4 September 1935.

Sekilas tentang Sanusi Pane

Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, pada 14 November 1905. Dia dikenal sebagai jurnalis, penyair, dramawan, dan sejarawan. Dia bekerja di sejumlah penerbitan pada masa sebelum dan setelah Kemerdekaan. Bersama adiknya Armijn Pane, Adam Malik, dan Soemanang Soerjowinoto, dia ikut mendirikan Kantor Berita Nasional Antara. Dia sempat setahun mengeyam pendidikan di India (1929-1930), dan karenanya pandangan agamanya dianggap sinkretisme antara Islam, Hindu, Buddha, dan sufisme. Dia pernah menolak menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Sukarno karena memandang Indonesia telah memberi banyak hal kepada Bung Karno sementara Bung Karno belum memberi apa pun kepada Indonesia. Gaya hidupnya asketis dan kerap menolak diwawancara. Dia wafat di Jakarta pada 2 Januari 1968, dan menjelang akhir hayatnya sempat meminta dimakamkan secara Hindu.

Foto utama diambil dari: Sjamsuddin dan Jassin, H.B. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Gunung Agung: Jakarta. 1955.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top