JELAJAH LITERASI

Melacak “Sastra Perlawanan”

in Wacana by

Dengan menggunakan konsep kunci Foucault, Okky Madasari – dalam Genealogi Sastra Indonesia – mencoba melacak jejak karya sastra yang “melawan” diskursus utama di setiap era. Berhasilkah?

PENGARANG Okky Madasari menerbitkan buku berjudul Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Sebelum mulai mengulas isinya, saya ingin menyampaikan dua apresiasi positif kepada Okky.

Pertama, dia menerbitkan Genealogi Sastra secara indie, daring, dan gratis. Di titik ini, Okky sudah melakukan semacam perlawanan terhadap modus kapitalistik di dunia perbukuan. Apalagi, buku ini hasil jerih payahnya menyelesaikan penelitian tesis pascasarjana Sosiologi di Universitas Indonesia pada 2014. Pembaca berfulus cekak seperti saya bisa menikmati penelitian Okky tanpa harus keluar rupiah sesen pun. Tabik, Okky!

  • Judul Buku: Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan
  • Penulis: Okky Madasari
  • Penerbit: www.okkymadasari.net
  • Tahun: 2019
  • Tebal: 136 halaman

Kedua, jika saya tak keliru, inilah buku pertama yang mencoba mengangkat kembali perbincangan tentang kesusastraan sejak Ariel Heryanto menyusun Perdebatan Sastra Kontekstual (1985). Memang sempat ada perdebatan pemberian penghargaan Ramon Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer pada 1995. Atau kehebohan penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada 2014 – ketika seorang konsultan politik menebar duit agar namanya dimasukkan ke dalam daftar 33 tokoh tersebut. Tapi, kedua polemik terakhir – kalau bisa disebut polemik – tak berurusan langsung dengan kesusastraan.

Dalam konteks itu, Genealogi Sastra tak mesti diposisikan bakal melahirkan polemik dengan intesitas serupa perdebatan “sastra kontekstual”. Setidaknya Okky berupaya menghadirkan kembali perbincangan tentang bagaimana karya sastra diciptakan dan diapresiasi.

Memang itu bukan upaya baru tapi menurut saya masih perlu terus diperbincangkan. Bagaimanapun, setiap zaman membutuhkan perbincangan, terlebih ketika perkembangan teknologi informasi saat ini melahirkan banyak karya (terlepas dari perdebatan mana sastra dan bukan sastra) dan penulis atau pengarang dalam kecepatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Dengan meminjam konsep-konsep kunci filsuf Perancis, Michel Foucault (seperti discourse, power/knowledge, governmentality), Okky membagi arus kesusastraan menjadi dua: diskursus utama vis a vis diskursus tanding (counter discourse). Dia lebih memusatkan penelitiannya kepada novel. Dia kemudian menganalisis dua diskursus itu dengan genealogi, semacam teknik analisis ala Foucauldian.

Lalu, apa yang Okky temukan dari hasil penelitiannya?

Okky menilai bahwa pada setiap “era” kesusastraan selalu ada diskursus utama dan diskursus pinggirian yang coba melawan diskursus utama. Diskursus sendiri menurut Foucault — setidaknya yang saya pahami — adalah cara “yang terlembagakan” untuk berbicara dan menulis tentang realitas. Ia mendefinisikan apa yang bisa dan tidak bisa dipikirkan dan dibicarakan tentang dunia.

Dengan mengandalkan periodisasi sastra yang pernah dibuat oleh kritikus seperti HB Jassin, Okky menyimpulkan bahwa karya-karya “Angkatan Pujangga Baru” sebagai diskursus tanding terhadap karya-karya terbitan Balai Pustaka, penerbit yang dibidani pemerintah kolonial. Lalu, “Angkatan 45” sebagai diskursus tanding terhadap “Angkatan Pujangga Baru”. Begitu seterusnya hingga orientasi kesusastraan yang kerap disebut “humanisme universal” mendominasi diskursus lepas pertarungan “brutal” mereka dengan kelompok “realisme-sosialis” di akhir kekuasaan Orde Lama. Di kubu humanisme universal, terjadi juga perebutan wacana, antara karya-karya bertema percintaan melankolis masyarakat urban yang menjual mimpi konsumerisme dengan karya-karya yang mengusung individualisme dan eksistensialisme.

Kira-kira begitulah yang saya pahami dari penjelasan Okky.

Persoalannya, apa batas-batas antara diskursus utama dan diskursus tanding dalam genealogi kesusastraan Indonesia? Apakah Pujangga Baru layak dikatakan menghadirkan perlawanan terhadap kuasa sastra Balai Pustaka ketika dirinya sendiri lahir dari politik etis kolonial — dan Okky juga menyebut demikian? Apakah “Angkatan 45” (yang ditandai dengan Surat Kepercayaan Gelanggang pada 1950) dan keturunannya (Manifes Kebudayaan pada 1963) merupakan diskursus tanding terhadap Pujangga Baru ketika semuanya berorientasi nilai “humanisme universal”? Apakah tema-tema individualisme dan eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap karya-karya percintaan hedonistik (termasuk di dalamnya karya berlabel “Islami”)?

Sejauh yang bisa saya pahami dari Foucault, kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) — yang “bak bayi kembar siam” — itu beroperasi secara subtil, menyebar (tidak terpusat), tidak represif, dan dinamis (terus memproduksi narasi yang berbeda-beda/beradaptasi) demi terus mempertahankan governmentality (kendali atas nilai, pikiran, dan perilaku). Okky sendiri menjelaskan konsep kunci tersebut seperti demikian. Jika begitu, bukankah lebih tepat jika dikatakan Pujangga Baru, “Angkatan 45”, “Manifes Kebudayaan”, dan novel-novel percintaan (termasuk novel-novel jalan-jalan ke luar negeri dan motivasi berembel-embel “Islami”) itu hasil modifikasi dan adaptasi dari diskursus dominan bernama “humanisme universal”?

HB Jassin, “sang paus sastra humanisme universal”, sendiri pada awalnya menentang humanisme universal. Ia menilainya sebagai upaya Belanda melemahkan semangat nasionalisme. Dia baru menerima humanisme universal ketika ikut mendukung “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Alasannya karena Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949.1Lihat Ariel Heryanto, dkk. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Press.

Dari situ, bisa dipahami bahwa humanisme universal bukan barang baru. Orientasi nilai itu sudah diperkenalkan sejak pemerintah kolonial melahirkan Balai Pustaka. Ia hanya beradaptasi, bersalin wajah berkali-kali.

Selain itu, dari perubahan ‘keyakinan’ HB Jassin, terlihat ia menganggap perubahan politik kekuasaan bisa serta merta mengubah keseimbangan diskursus; bahwa humanisme universal pada akhirnya bisa berguna setelah penguasa kolonial pergi. Hal yang kurang lebih sama diyakini Okky ketika di akhir buku menyatakan, “Sastra perlawanan bisa muncul merombak diskursus penguasa hanya jika terjadi break kekuasaan seperti yang terjadi pada tahun 1945, 1965, dan 1998 yang mengubah ideologi dan pandangan yang dianggap benar secara mendasar.”

Kesimpulan tersebut agak tak seirama dengan pemikiran Foucault yang saya pahami. Diskursus utama justru bertahan dengan memproduksi narasi demi narasi yang terlihat (dan padahal tidak) bertentangan satu sama lain. Justru inilah bagaimana power/knowledge bekerja. Humanisme universal bisa bertahan dengan menciptakan pertentangan-pertentangan di dalam dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, pengaruh politik kekuasaan tak lantas memudar ketika kekuasaan itu berpindah tangan, apalagi bisa langsung dan instan merombak diskursus.

Pada kenyataannya, seperti Okky akui sendiri, setelah Orde Baru tumbang, orientasi nilai kesusastraan tak berubah. Novel-novel percintaan, jalan-jalan ke luar negeri, dan motivasi (yang kadang berembel-embel “Islami) masih menjadi diskursus utama. Kata masih di sini menunjukkan bahwa tema seperti ini bukan baru.

Tema percintaan sudah ada sejak “angkatan Balai Pustaka” dan terus berlanjut hingga kini. Dari era ke era, tema itu menyampaikan pesan yang seolah menentang nilai-nilai mapan era sebelumnya.

Novel-novel Pujangga Baru, seperti Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) dan Belenggu (Armijn Pane) tak lagi berbicara “kasih tak sampai” gara-gara kuasa adat atau status sosial seperti pada era “Balai Pustaka”. Pujangga Baru mulai bicara tentang emansipasi dan kemandirian perempuan.

Ini berlanjut dengan kemunculan novel-novel percintaan masyarakat urban seperti karya Marga T dan Mira W. Novel-novel yang kemudian disebut bergenre populer ini, menurut Okky, mendapatkan “gugatan” dari karya-karya NH Dini yang menghadirkan feminisme dalam novel-novelnya. Puncak gugatan adalah kebebasan seksual yang diledakkan oleh Saman (1998) karya Ayu Utami.

Begitupun, tema percintaan plus “jalan-jalan keluar negeri” yang berbalut “nilai-nilai Islami” sudah ada – setidaknya – sejak Hamka mengarang Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk pada 1938 (kedua novel ini bahkan diterbitkan Balai Putaka). Habiburahman El Shirazy dengan Ayat-Ayat Cinta (2004) dan A Fuadi lewat Negeri 5 Menara (2009) adalah segelintir contoh pengarang yang kemudian mereplikasi formula Hamka.

Meskipun ada nuansa “tanding”, saya tak yakin bahwa apa yang diyakini Okky sebagai “diskursus tanding” itu benar-benar bisa disebut “diskursus tanding”. Saya justru yakin, pertentangan-pertentangan yang tampak terjadi itu hanyalah adaptasi dan modifikasi dari modus produksi power/knowledge dominan saat ini: humanisme universal — berpusat pada pikiran, emosi, dan intuisi individual manusia; lepas dari kehidupan sosial, daya jangkau budaya, dan sejarah manusia.2Definisi ini sebagian saya ambil dari Ariel Heryanto dalam Perdebatan Sastra Kontekstual (CV Rajawali, 1985).

Dengan demikian, saya meyakini humanisme universal masihlah diskursus utama tanpa “tanding” hingga saat ini. Satu-satunya yang pernah mencoba menandinginya adalah realisme-sosialis yang diusung kelompok sastrawan “kiri”.

Karena itu, saya tak sependapat dengan Okky yang menyatakan bahwa realisme-sosialis pernah menikmati masa keemasan sebagai diskursus utama, setidaknya sejak era Demokrasi Terpimpin hingga 1965. Menurut saya, ofensif Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) – yang mengusung realisme-sosialis – terhadap Manifes Kebudayaan dan pemberedelan Sukarno tak bisa dikatakan telah membawa realisme-sosialis ke panggung utama. Sejauh yang bisa saya pahami dari Foucault, represi bukanlah cara yang ia bayangkan dari bekerjanya discourse dan power/knowledge.

Ketika berbicara karya-karya realisme-sosialis, Genealogi Sastra, menurut saya, baru berhasil mengidentifikasi “sastra perlawanan”. Okky, misalnya, menyebut karya-karya, seperti Nyai Permana (Tirto Adhi Soerjo), Hikayat Kadiroen (Semaoen), dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo). Karya-karya ini hilang dari kesadasaran dan memori masyarakat karena tak disebut-sebut dalam buku-buku periodisasi sastra atau buku-buku pelajaran. Padahal, karya-karya itu bahkan terbit sebelum novel-novel Balai Pustaka. Karya-karya itu juga ditolak Balai Pustaka karena dalih bahasa yang tidak baku. Ini sesuai dengan cara power/knowledge dan discourse bekerja untuk “membungkam” diskursus berbeda. Bukan dengan represi, seperti pemberedelan, tapi governmentality: teknikalitas.

Setelah membaca Genealogi Sastra, muncul dua pertanyaan. Apakah diskursus tanding terhadap diskursus dominan mesti berwujud realisme-sosialis? Apakah diskursus tanding kemudian mesti menjadi pemenang lalu terjadilah siklus “pertarungan diskursus” seperti bisa terbaca dari paparan Okky?

Untuk pertanyaan pertama, jawabannya tidak mesti. Fenomena Eka Kurniawan pantas disebut, dan bahkan dianalisis. Sayangnya, Okky melewatkan ini. Karya-karyanya saya nilai sebagai diskursus tanding meskipun kini sudah diterbitkan oleh penerbit arus utama (sebelumnya oleh penerbit kecil di Yogyakarta). Menurut saya, karya Eka tak bisa dikatakan realisme-sosialis. Orientasi Eka disebut cenderung realisme magis, atau kira-kira surrealisme yang dilemparkan kepada dunia kenyataan, konteks sosial-politik, dan sejarah.

Karya-karya Eka (setidaknya novel Cantik Itu Luka dan kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati yang pernah saya baca) menggugat banyak hal: dari kekuasaan, tafsir dominan atas sejarah, modernisme, seksualitas, percintaan, hingga budaya patriarki). Tapi, metode penggarapannya unik – untuk tidak mengatakan ngawur seperti disebut Maman S Mahayana. Gaya penceritaannya tak lazim. Penokohannya absurd.

Yang lebih awal mengusung realisme magis dari Eka adalah Seno Gumira Ajidarma. Cerpen Saksi Mata bisa menjadi contoh. Dengan penceritaan yang mengaburkan batas-batas mimpi dan kenyataan, Seno menggugat kebrutalan militer Indonesia di Timor Leste. Cerpen ini ditulis – menurut catatan Seno – pada 1992 dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen pada 1994, masa-masa saat kuku kekuasaan Orde Baru masih tajam. Gara-gara ini, Seno dicopot dari posisi pemimpin redaksi di majalah Jakarta Jakarta.

Selain itu, Okky tampaknya melewatkan sejumlah karya yang bisa diajukan sebagai “diskursus tanding” setelah Orde Baru rontok. Satu contoh yang pernah saya ketahui adalah Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003) karya Muhidin M Dahlan. Novel ini, menurut saya, melawan narasi dominan novel-novel “berbumbu Islami”.

Novel itu mengisahkan mahasiswi berhijab yang aktif di organisasi “garis keras”. Tapi, dia merasa “tuhan” yang direpresentasikan organisasi itu merepresi rasionalitas. Dia memberontak. Dia menjerumuskan diri ke dalam seks bebas. Katanya setiap kali usai bercinta, “Lihat aku, Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!”

Dari situ, saya ingin menjawab pertanyaan kedua. Menurut saya, diskursus tanding tak mesti menjadi pemenang untuk kemudian terjadilah siklus “saling mengalahkan”. Diskursus tanding mesti ada untuk mencegah penyeragaman kesusastraan oleh satu orientasi nilai, atau penyeragaman selera pembaca.

Karya-karya dengan narasi tanding terus bermunculan, dan sebagian besarnya mungkin terlewatkan oleh kita – bukan hanya oleh Okky. Yang bisa saya sebutkan pun hanya sebagian kecil. Tentu saja, secara finansial, novel-novel itu tak segemerlap chicklit, metropop, atau novel-novel “Islami”. Tapi, pembaca setidaknya tetap memiliki alternatif dan standar “selera sastra” tak sepenuhnya didefinisikan oleh diskursus utama.

Dalam jangka waktu panjang, bisa jadi karya-karya pinggiran itu memasuki arena utama. Siapa yang menyangka Bumi Manusia karya Pramoedya kini bisa dicetak lebih daripada 30-an kali (juga diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing) dan bahkan difilmkan (meskipun filmnya, menurut saya, gagal menangkap roh novel itu).[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top