Meskipun tak bertutur dengan gaya absurd seperti dalam kebanyakan cerpennya, Budi Darma, dalam Orang-Orang Bloomington, tetap menyajikan tema absurditas. Manusia tak pernah putus dirundung kesulitan memahami diri dan orang lain di sekitarnya.
ORANG-ORANG Bloomington (1980) merupakan buku kumpulan tujuh cerita pendek karya Budi Darma. Kumpulan cerpen ini merupakan karya termasyhur Budi selain novel Olenka (1983).
Seperti Olenka, Orang-Orang Bloomington terinspirasi dari periode ketika Budi menempuh pendidikan master dan doktoral di Indiana University Bloomington, Amerika Serikat, antara 1974-1980. Budi mengatakan tema-tema cerpen itu sudah ada di kepalanya sejak di Bloomington tapi dia baru bisa menuliskan sebagian di antaranya saat berkeliling kota-kota di Amerika dan Eropa memanfaatkan jeda masa studinya.
- Judul Buku: Orang-Orang Bloomington
- Pengarang: Budi Darma
- Penerbit: Noura Books
- Terbit: 2016 (pertama kali terbit pada 1980)
- Tebal: 317 halaman (edisi digital)
Yang menarik, menurut Budi, dia menyelesaikan cerpen-cerpen itu dalam sekali tulis. “Semuanya seolah-olah saya tulis di luar kesadaran saya sendiri. Dan memang, proses semacam inilah yang saya alami setiap kali saya menulis cerpen.”1
Berbeda dari kebanyakan cerpen Budi sebelum tinggal di Bloomington yang cenderung bergaya absurd, Orang-Orang Bloomington justru bertutur realis. “Semua cerpen dalam Orang-Orang Bloomington adalah cerpen realistis, tidak melesat ke dunia sana.”2
Cerpen-cerpen dalam Orang-Orang Bloomington berukuran panjang untuk lazimnya sebuah cerpen di Indonesia. Ini karena sebagian besar cerpen di Indonesia saat ini awalnya dimuat dalam rubrik sastra di koran edisi akhir pekan. Membaca Orang-Orang Bloomington seperti mengembalikan ingatan kita kepada genre cerpen sebelum kemunculan era “sastra koran”.
Bagi Budi sendiri, tidaklah penting panjang-pendeknya sebuah cerita, entah itu novel maupun cerpen. Menurutnya, yang terpenting adalah kebulatan. “Lepas dari berapa lama penulisnya menggarap, dan berapa panjang tulisan tersebut, tulisan tersebut sudah mencapai taraf organisme hidup.”3
Orang-Orang Bloomington pertama kali diterbitkan Penerbit Sinar Harapan pada 1980. Kemudian, kumpulan cerpen ini diterbitkan ulang oleh Penerbit Metafor pada 2004 dan Noura Books pada 2016.
Daftar Cerpen
“Laki-Laki Tua Tanpa Nama”
Berlatar Jalan Fess, sebuah jalan kecil nan sepi yang hanya dihuni tiga rumah dengan kamar loteng, narator, seorang mahasiswa di Bloomington, menceritakan karakter tiga janda tua penghuni rumah-rumah tersebut: Ny. MacMillan, Ny. Nolan, dan Ny. Casper. Dia sendiri menyewa kamar loteng di rumah Ny. MacMillan.
Ketiga nyonya itu digambarkan tak pernah mau mencampuri dan juga tak pernah ingin tahu urusan masing-masing. Ketiganya saling tak peduli.
Sementara itu, narator justru sebaliknya. Dia anak muda yang serba ingin tahu.
Kondisi berjalan normal sampai seorang laki-laki tua tanpa nama muncul sebagai penghuni kamar loteng di rumah Ny. Casper. Laki-Laki ini bertingkah aneh, kerap menodong-todongkan pistol meskipun tak pernah menembakkannya.
“Joshua Karabish”
Cerpen ini mengisahkan persahabatan narator (“saya”) dengan Joshua Karabish. Keduanya mahasiswa di Bloomington yang berbagi kamar loteng di rumah Ny. Seifert.
Joshua digambarkan pria berpenyakit aneh dan suka menyendiri dari kawan-kawannya. Kepalanya benjol-benjol. Kedua matanya tampak hendak keluar dari kedua rongganya. Tiap malam tiba, Joshua menderita hebat. Kupingnya mengeluarkan lendir dan hidungnya meneteskan darah, yang semuanya berbau amis.
Joshua suka menulis puisi tapi tak pernah berniat menerbitkannya. Kalaupun kelak menerbitkannya, dia mengatakan tak akan pernah menggunakan namanya. Sebab, menurutnya, orang akan menertawakan puisinya dengan hanya melihat penyairnya yang berpenampilan buruk.
Setelah Joshua meninggal, narator menghadapi dilema, terutama saat kumpulan puisi Joshua yang dia kirim atas namanya memenangkan suatu penghargaan bergengsi. Dilema itu begitu intens, sehingga bahkan narator merasa tertular penyakit yang membunuh Joshua.
“Keluarga M”
Berlatar kehidupan sehari-hari di sebuah kompleks apartemen, narator (“saya”) menceritakan keluarga Meek: Melvin (ayah), Marion (ibu), Mark (kakak), dan Martin (adik). Keluarga ini berpenghasilan pas-pasan, sehingga anak mereka terlihat kurang makan dan tidak memiliki mainan seperti kebanyakan anak lain di kompleks apartemen tersebut.
Si narator masygul betul dengan kakak-beradik Mark dan Martin setelah mengetahui bahwa Martin-lah yang menggoreskan paku pada bodi mobilnya. Saking gusarnya, narator sampai-sampai punya hasrat mencelakai kedua anak itu, dan bahkan seluruh anggota keluarga Meek.
“Orez”
Narator, seorang lelaki, memutuskan untuk menikahi Hester Price meskipun ayah si perempuan, Stevick Price, memperingatkannya tentang kemalangan yang akan menimpa mereka di masa depan. Semua anaknya, kecuali Hester, lahir cacat dan mati, sehingga ada kemungkinan Hester melahirkan anak cacat.
Setelah menikah, Hester mengalami keguguran sampai tiga kali. Pada kali keempat, kehamilannya berbeda, lebih kuat daripada yang sudah-sudah. Meskipun sempat menimbang untuk menggugurkan kandungan karena cemas akan kemungkinan cacatnya si jabang bayi, Hester akhirnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilan.
Bayi itu lahir selamat. Tapi, Orez, nama bayi itu, cacat. Kepala, tangan, dan kakinya lebih besar daripada ukuran tubuhnya. Bukan hanya tubuh yang cacat tapi juga tingkah laku Orez. Dia suka melompat ke sana kemari tanpa tujuan jelas. Tawanya melengking keras melebihi tawa anak biasa. Di usia lima tahun, Orez hanya bisa bicara: ham…hem…ham.
Gara-gara Orez, ayah dan ibunya harus pindah kerja dan apartemen berkali-kali. Mereka malu dengan tingkah laku Orez meskipun tak ada teman dan tetangga mereka yang menunjukkan pandangan jijik.
Ayahnya, si narator, berpikir untuk mengakhiri hidup Orez seperti Ibrahim menyembelih Ismail atau Ishaq. Dia teringat pesan almarhum mertuanya agar memperhatikan kebahagiaan yang hidup untuk tetap hidup dan melupakan yang tidak mungkin bisa hidup.
“Yorrick”
Kisah ini mengungkap kompleksitas hubungan antarmanusia dari sisi narator (“saya”). Si narator mencintai Catherine, perempuan yang menyewa kamar loteng di sebuah rumah tua di ujung jalan. Terobsesi dengan Catherine, narator rela membayar denda karena pindah dari asrama di kampusnya ke kamar loteng di seberang rumah tua itu.
Tapi, belakangan dia tahu bahwa Catherine tak pernah peduli dengannya. Gadis itu, menurutnya, menyukai Yorrick, lelaki lain yang tinggal satu loteng dengan si narator.
“Ny. Elberhart”
Narator (“saya”) bercerita tentang Ny. Elberhart, perempuan tua yang menarik perhatiannya di Jalan Jefferson. Rumah Ny. Elberhart tak terawat dan pekarangannya selalu kotor. Aktivitasnya hanya melambaikan tangan kepada mereka yang lewat di depan rumahnya. Janda tua yang tinggal sendirian itu terkadang mendamprat tukang pos karena tak pernah ada surat datang untuknya.
Si narator mencoba menelusuri riwayat hidup Ny. Elberhart, tapi tak ada seorang pun yang tahu banyak tentangnya. Kemudian dia mencoba berbagai cara untuk membuat Ny. Elberhart membersihkan pekarangan rumahnya, termasuk dengan berkirim surat gelap kepada Ny. Elberhart.
Pekarangan rumah Ny. Elberhart suatu hari tampak bersih, tapi empunya rumah dikabarkan masuk rumah sakit. Si narator menyesal karena merasa surat gelapnya telah menyebabkan Ny. Elberhart sakit.
Dia memutuskan menjenguk Ny. Elberhart. Dari sini, hubungan si narator dengan Ny. Elberhart memasuki tahap baru yang unik.
“Charles Lebourne”
Narator, James Russel, kesal dengan sebuah unit di kompleks apartemen di seberang kompleks apartemennya. Jendela unit itu memantulkan sinar matahari lebih terik daripada jendela-jendela lain. Pada malam hari, lampu duduk raksasa di unit itu juga mengarah ke unit apartemennya. Seakan si penghuni unit memang sengaja berbuat jahat kepadanya.
Russel berupaya mencari tahu identitas penghuni unit tersebut. Ternyata dia Charles Lebourne. Nama itu ia kenal sebagai pria yang tak mengawini dan menyakiti hati ibunya. Sebuah keluhan tentang pantulan sinar matahari dan cahaya lampu duduk ternyata mempertemukan Russel dengan lelaki yang menelantarkannya tiga puluh tahun silam.
Russel kini harus memutuskan apakah dia akan berlaku baik layaknya seorang anak kepada ayah, atau membalaskan sakit hati ibunya. Semua terserah dia, sang ibu berkata demikian sebelum wafat.
Respons
Lewat Orang-Orang Bloomington dan Olenka, Budi Darma memperoleh SEA Writer Award pada 1984, penghargaan karya sastra untuk pengarang-pengarang Asia Tenggara yang dihelat di Bangkok, Thailand. Salah satu cerpen, “Orez”, pernah dipentaskan sebagai drama oleh mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pengarang Agus Noor menilai Orang-Orang Bloomington menandai periode gemilang Budi Darma sebagai sastrawan. “Kita akan terpesona oleh karakter-karakter yang unik dan kuat, yang bahkan bisa mengguncang imajinasi kita.”4
Ulasan Singkat
Dalam Orang-Orang Bloomington, Budi Darma selalu menggunakan orang pertama “saya” sebagai narator. Ini memungkinkan Budi mengeksplorasi kedalaman perasaan narator, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya.
Narator dalam Orang-Orang Bloomington menghadapi dilema dalam perasaan dan penilaian subjektifnya terhadap orang lain. Dilema ini melahirkan keputusan dan tindakan yang selalu memunculkan kesulitan dan kesengsaraan.
Di sini, Budi mengangkat tema absurditas kehidupan manusia, di mana sikap kita, entah itu baik atau jahat, entah itu peduli atau tak acuh, seringkali menghasilkan respons yang tak kita harapkan. Meskipun tak bertutur dengan gaya absurd, Budi tetap menyajikan tema absurditas, atau manusia yang tak pernah putus dirundung kesulitan memahami diri dan orang lain di sekitarnya.[]
1Budi Darma, Orang-Orang Bloomington, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan), 1980, hlm. xii.
2Ibid.
3Ibid, hlm. xiv.
4Budi Darma, Orang-Orang Bloomington, (Jakarta: Noura Books), 2016.