Rebecca (2020) memiliki sederet potensi untuk menjadi film bagus. Materi berupa adaptasi novel terkenal, sutradara berpengalaman, dan sederet pemain berkualitas. Lantas, mengapa di mata para kritikus, film ini justru jeblok?
REBECCA memiliki sederet potensi untuk menjadi film bagus. Bahan dasar cerita, sutradara, dan aktornya adalah jaminan kualitas.
Film ini didasarkan pada novel terkenal berjudul sama karya pengarang Inggris Daphne du Maurier. Rebecca adalah karya kelima du Maurier tapi karya pertamanya yang menguntungkan secara finansial. Ketika pertama kali membaca naskahnya, editor Norman Collins langsung membayangkan gemerincing uang.
- Judul Film: Rebecca
- Sutradara: Ben Wheatley
- Penulis: Jane Goldman, Joe Shrapnel, Anna Waterhouse
- Pemain: Lily James, Armie Hammer, Kristin Scott Thomas.
- Rilis: 16 Oktober 2020 (Netflix)
- Durasi: 120 menit
Penciuman Collins terbukti tajam. Sejak terbit pada 1938, Rebecca menjadi salah satu novel yang tak pernah berhenti diterbitkan dalam berbagai bahasa di seluruh belahan dunia hingga kini. Unsur-unsur intrinsik novel ini terus diingat sepanjang masa, seperti karakter pelayan mansion yang dingin, sinis, dan gelap pada Mrs Danvers, Manderley nama fiksional untuk mansion tersebut, dan kalimat pembuka, “Last night I dreamt I went to Manderley again.” Tak salah BBC News memasukkan novel ini ke dalam daftar 100 novel paling menginspirasi pada 2019. Peritel WHSminth, dalam jajak pendapatnya pada 2017, juga menyandingkan novel ini sebagai buku terfavorit di Inggris selama 225 tahun bersama dengan karya-karya klasik, seperti Pride and Prejudice oleh Jane Austen dan Jane Eyre oleh Charlotte Brontë.
Rebecca telah banyak diadaptasi, dari mulai drama radio, teater, serial televisi, hingga film layar lebar. Yang termasyhur adalah adaptasi raja suspense Alfred Hitchcock pada 1940. Rebecca versi Hitchcock ini sukses secara komersial dan kritik. Ia menerima nominasi terbanyak dalam ajang Academy Awards 1940 dengan 11 nominasi, dan dua antaranya (film terbaik dan sinematografi terbaik) berhasil dimenangkan. Ini bahkan satu-satunya film Hitchcock yang pernah memenangi Oscars.
Alhasil, mengadaptasi ulang karya ini bisa dibilang pertaruhan besar. Tapi, seperti tadi sudah disampaikan, proyek remake pada 2020 ini memiliki potensi untuk menjadi film bagus. Ben Wheatley, misalnya, telah beberapa kali menggarap film horor, suspense, dan thriller psikologis yang diakui kualitasnya. Sebut saja dua di antaranya Kill List (2011), yang mendapatkan delapan nominasi dalam British Independent Film Award 2011, dan High-Rise (2015) yang dinominasi sebagai film terbaik dalam Empire Award 2017.
Lalu, para aktor yang berperan dalam film ini juga nama-nama yang sudah tak diragukan lagi kualitas akting mereka. Lily James bermain cemerlang dalam serial Downton Abbey, sehingga bersama para pemeran lainnya memperoleh Screen Actors Guild dua tahun berturut-turut (2014-2015). Armie Hammer dinominasikan oleh banyak ajang penghargaan, terutama Golden Globe 2017, melalui aktingnya sebagai Oliver dalam Call Me by Your Name. Nama-nama berikutnya, seperti Kristin Scott Thomas (The English Patient), Keeley Hawes (Line of Duty), dan Ann Dowd (The Handmaid’s Tale) adalah aktor-aktor senior yang kenyang dengan penghargaan dan pujian.
Hasilnya adalah sebuah film yang menarik ditonton. Sinematografinya memanjakan mata. Pemandangan indah berikut mansion klasik di selatan Inggris sebagai lokasi syuting bisa membetot perhatian penonton sepanjang film. Penampilan para pemainnya bisa dibilang lumayan. Bahkan, dua jempol layak diberikan untuk Kristin Scott Thomas dan penampilan singkat (sekitar 10 menitan) Ann Dowd.
Namun, di mata kritikus, film ini justru jeblok. Sebagian besar kritik menyasar tafsir “takut-takut” Wheatley terhadap karya du Maurier. Artinya, para kritikus lebih melihat film ini dari unsur di luar teknik sinematik meskipun sebagian di antaranya mempersoalkan akting James dan Hammer yang biasa-biasa saja1. Pandangan negatif menilai Wheatley gagal menghadirkan kebaruan. Film ini, menurut mereka, justru menunjukkan bahwa adaptasi versi Hitchcock masih sulit dilampaui. Kesimpulan mereka, sebagai film bergenre gotik romantis, Rebbeca versi Wheatley masih terlalu waras.
Rachel Syme dalam The New Yorker2, misalnya, mengisyaratkan bahwa remake atas Rebecca seharusnya bisa lebih bebas karena zaman sudah membuka peluang untuk itu. Dalam novel du Maurier, Maxim de Winter (Armie Hammer) dengan penuh maksud membunuh istri pertamanya, Rebecca. Tapi, dalam film versi Wheatley, de Winter membunuh Rebecca karena diprovokasi sang istri yang berselingkuh itu. Dalam versinya, Hitchcock sebenarnya malah menampilkan de Winter tak bersalah karena Rebecca mati akibat terjatuh. Tapi, tafsir Hitchcock lebih bisa diterima karena pada waktu itu, di Hollywood, ada kode moral (disebut Hays Code) yang menabukan penggambaran seorang suami membunuh istrinya dengan sengaja. Hays Code ini pula yang membuat Hitchcock tidak menampilkan nuansa homoerotisisme dalam hubungan Mrs Danvers (Kristin Scott Thomas) dan Rebecca.
Jadi, dalam pandangan Syme, Wheatley seharusnya bisa lebih bebas dan jujur kepada karya du Maurier. De Winter tak bisa terus-menerus dijadikan semata sosok lelaki malang yang menjadi korban istri yang berselingkuh. Tuan besar Manderley itu tetaplah seorang pembunuh yang memiliki potensi kekerasan terhadap perempuan.
Namun, ada yang dilewatkan oleh kritik Syme. Berbeda dengan Hitchcock, Wheatley justru memposisikan Mrs de Winter (Lily James) sebagai sang jagoan dalam film ini. Nyonya de Winter Kedua inilah yang berjuang sendiri membesarkan hati suaminya dan membebaskannya dari jeratan hukum. Dia pergi menemui doktor yang memeriksa Rebecca sebelum kematiannya. Dia hampir saja mencuri dokumen medis sebelum mengetahui bahwa Rebecca tidak sedang hamil tapi mengidap kanker rahim.
Dalam novelnya, peran Mrs de Winter lebih pasif. Dia tak sendirian menginvestigasi kematian Rebecca tapi bersama dengan Maxim dan polisi penyidik.
Bagaimanapun, baik novel maupun filmnya tetap mengesankan Mrs de Winter akan melakukan apa pun demi tetap bersama Maxim. Dia tak merasa terganggu dengan kenyataan bahwa suaminya adalah seorang pembunuh. Dia lebih peduli dengan perasaan leganya ketika mengetahui persoalan suaminya dengan masa lalu bukanlah karena Maxim mencintai tapi membenci Rebecca—sosok gaib (bahkan wajahnya sekalipun tak pernah diperlihatkan dalam film) tapi tetap tak mampu dia ungguli: Rebecca yang lebih cantik; Rebecca yang lebih pintar; dan Rebecca yang lebih dicintai oleh segenap staf Manderley.
Secara keseluruhan, harus diakui kritik para kritikus ada benarnya. Jika dibandingkan dengan gotik romantis lain, semisal Crimson Peak (2015, Guillermo del Toro), Rebecca (2020) kurang menggigit dari sisi suspense dan thriller-nya.
Lalu apa yang ingin disampaikan dari kisah petualangan perempuan lugu yang kemudian berkembang menjadi independen, Mrs de Winter, bersama suami kayanya itu? Rebecca ingin mengatakan bahwa kita tak bisa menepis begitu saja masa lalu. Masa lalu, sekeras apa pun usaha kita untuk mengenyahkannya, tetaplah menjadi bayang-bayang hidup kita. Membuang memori masa lalu dengan tak mau membicarakannya justru akan membuat kita selalu dihantuinya.
Mrs de Winter: “Bayangkan jika memori bisa disimpan dalam botol seperti aroma. Jadi, kita bisa membukanya kapan pun kita mau. Rasanya seperti mengalami momen itu lagi… Tak pernah dilupakan.”
Maxim de Winter: “Dan ingatan yang tak diinginkan, bisa dibuang saja.”[]
1O’Malley, Sheila. 16 Oktober 2020. “Rebecca”. https://www.rogerebert.com/reviews/rebecca-movie-review-2020. Diakses pada 10 November 2020.
2Syme, Rachel. 24 Oktober 2020. “All the Wrong Reasons to Remake Rebecca”. https://www.newyorker.com/culture/culture-desk/all-the-wrong-reasons-to-remake-rebecca. Diakses pada 10 November 2020.