JELAJAH LITERASI

“Kucumbu Tubuh Indahku”: Bukan Sekadar Soal LGBT

in Film by

Menganggap Kucumbu Tubuh Indahku semata soal LGBT sungguh kekeliruan besar. Film ini kaya akan konteks budaya, sosial, dan politik, kekhasan Garin Nugroho yang belum tertandingi banyak sutradara dari generasi lebih muda.

KUCUMBU Tubuh Indahku merupakan film cerita ke-19 Garin Nugroho atau ke-25 dari 26 karya sinematiknya. Bagi Garin, Kucumbu adalah film tercepat yang pernah dia buat (dua bulan masa persiapan, dua pekan produksi, dan dua bulan pascaproduksi). Begitupun, film ini menjadi Film Terbaik Festival Film Indonesia 2019 (memenangi delapan dari 12 kategori yang dinominasikan), termasuk mengantarkan Garin sebagai Sutradara Terbaik untuk pertama kali setelah dua kali hanya menjadi nominasi.

Film ini pertama kali tayang di Festival Film Internasional Venice ke-75 pada 6 September 2018. Di Indonesia, film baru beredar di bioskop pada 18 April 2019 setelah tayang terbatas di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 13 Desember 2018. Film ini kemudian dipilih mewakili Indonesia dalam Academy Awards ke-92 pada 2020.

Ketika film ini beredar di bioskop, dua petisi online di Change.org menyerukan penolakan atas penayangannya. Penolakan kemudian datang dalam bentuk keputusan sejumlah kepala daerah yang melarang penayangannya, seperti di Depok, Garut, Pontianak, Padang, Pekanbaru, dan Palembang. Mereka menganggap film ini menyebarkan gaya hidup LGBT, padahal Lembaga Sensor Film (LSF) telah meloloskan film ini.

Kemenangan film ini di Festival Film Indonesia 2019 dan keterpilihannya sebagai wakil Indonesia di Oscars 2020 membuat sejumlah bioskop menayangkan kembali film ini pada Desember 2019. Penayangan ulang juga dipicu tuntutan sebagai besar penonton yang belum sempat menyaksikannya pada April 2019.

  • Judul Film: Kucumbu Tubuh Indahku
  • Sutradara: Garin Nugroho
  • Penulis: Garin Nugroho
  • Produser: Ifa Isfansyah
  • Pemain: Muhammad Khan, Raditya Evandra, Randy Pangalila, Sujiwo Tejo, Whani Dharmawan, Teuku Rifnu Wikana
  • Rilis: 18 April 2019
  • Durasi: 106 menit

Plot

Trauma kekerasan selalu mewarnai Hidup Juno (Muhammad Khan) sejak kecil hingga dewasa. Juno kecil (Raditya Evandra) ditinggal pergi ayahnya setelah sang ayah terus dihantui trauma karena menyaksikan keluarganya dibantai pada periode gelap inkuisi atas orang-orang yang dianggap komunis.

Selanjutnya, Juno menyaksikan bagaimana seorang guru tari lengger (Sujiwo Tejo) membunuh muridnya sendiri dengan celurit setelah si murid ketahuan berselingkuh dengan istri mudanya. Juno juga harus menyaksikan guru tari (Dwi Windarti) yang sangat menyayanginya diseret orang-orang kampung karena sang guru dianggap berbuat tak senonoh.

Berbagai kekerasan yang dia saksikan itu membekas pada dirinya. Saat memori akan kekerasan itu datang, dia terkadang melukai jarinya dengan jarum.

Beranjak remaja, dia merasakan feminitas dalam tubuh maskulinnya. Dia kemudian jatuh cinta kepada seorang petinju (Randy Pangalila). Tapi, hubungan ini berakhir tragis. Hubungannya dengan seorang maestro reog (Whani Dharmawan) juga berujung pada kekerasan yang ditingkahi oleh kepentingan politik seorang penguasa lokal (Teuku Rifnu Wikana).

Ulasan

Peredaran film ini di bioskop pada 18 April 2019 memunculkan dua ironi. Pertama, tepat satu hari sebelumnya, 190 juta orang Indonesia memilih di bilik-bilik suara. Tapi, politisi yang mereka pilih dalam hajatan “pesta demokrasi” itu malah melarang penayangannya. Kebebasan berekspresi, yang menjadi kredo demokrasi, justru ditindas oleh mereka yang berkuasa berkat demokrasi.

Kedua, dalam film ini, Garin berbicara tentang trauma dan kekerasan. Tapi, film ini—dan tentu saja Garin sendiri—justru mengalami kekerasan berupa penghakiman massal sekolompok orang, yang belum tentu telah menonton film ini.

Selain itu, Kucumbu menghadapi gempuran budaya dari Hollywood. Hampir bersamaan dengan perilisannya di bioskop, Indonesia—sebagaimana juga dunia pada umumnya—dilanda demam Avengers: Endgame, film superhero Marvel yang tayang mulai 22 April 2019. Alhasil, Kucumbu mendapatkan layar dan waktu penayangan terbatas dari pengelola bioskop—belum lagi ditambah larangan yang dikeluarkan sejumlah kepala daerah.

Di tengah serbuan Captain America dan kawan-kawan, Kucumbu sebenarnya adalah oase, sebuah jeda dari narasi Hollywood. Gaya sinematik Garin yang lebih menekankan pada estetika membuat Kucumbu bak sebuah puisi berima. Ada narasi Rianto (penari lengger yang sebagian kisah hidupnya menginspirasi film ini), adegan yang bertutur wajar, dan kemudian ditutup musik lembut garapan Mondo Gascaro (meraih Piala Citra sebagai Penata Musik Terbaik). Begitulah Kucumbu bercerita kepada penontonnya—sebuah cara yang unik.

Meskipun demikian, Kucumbu tak sepuitis film-film lain Garin, seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Bulan Tertusuk Ilalang, atau Surat untuk Bidadari. Alurnya bisa dibilang masih linear dan mudah dipahami. Ia berada pada “level” Daun di atas Bantal, tak terlalu sesak dengan metafora puitis.

Jika film ini dikatakan tentang LGBT, Garin mengakui itu. “Saya ingin mengangkat LGBT di kalangan bawah karena selama ini LGBT digambarkan bagian dari gaya hidup kelas atas,” katanya dalam sebuah diskusi1.

Namun, menganggap Kucumbu semata soal LGBT sungguh kekeliruan besar. Kucumbu kaya akan konteks budaya, sosial, dan politik—satu lagi kekhasan Garin yang belum tertandingi banyak sutradara dari generasi lebih muda. Film ini mengangkat seni tradisi lengger lanang, tarian yang penari lelakinya dirias serupa wanita, dan warok-gemblak, pasangan pria penari reog yang kerap dianggap memiliki hubungan mistis dan seksual.

Kucumbu menunjukkan bahwa isu feminin-maskulin dalam satu tubuh sudah berurat akar dalam tradisi di Nusantara, jauh sebelum urat leher banyak orang menegang begitu mendengar kata LGBT. Nama Juno mengingatkan kita kepada Arjuna, tokoh pewayangan dalam epos Mahabharata. Dalam satu babak, Arjuna dikisahkan harus menyamar sebagai guru tari perempuan saat menjalani pembuangan di Kerajaan Wirata. Penyamaran itu berhasil karena Arjuna nyaris tak bisa dibedakan dari seorang perempuan. Dalam cerita dan pertunjukan wayang, karakter Arjuna kerap dilukiskan sebagai lelaki rupawan: berwajah tampan serta bertubuh ramping.

Homoseksualitas bukan realitas yang diekspor dari luar. Kesusastraan Jawa di awal masuknya Islam, misalnya, memiliki Serat Centhini. Karya yang merupakan kolaborasi para pujangga Istana atas perintah Pangeran Adipati Anom (kelak menjadi raja Solo bergelar Sunan Pakubuwana V) ini mengisahkan hubungan homoseksual pada bagian perjalanan Mas Cabolang.

Jika dulu hal-hal tersebut tak menimbulkan ketegangan, pertanyaan kenapa hari-hari ini kita menyaksikan respons berbeda?

Homoseksualitas dan seni tradisi juga sebenarnya bukan tema utama Kucumbu. Lebih jauh, film ini melakukan penjelajahan filosofis perihal trauma pada tubuh seseorang.

Sejumlah karakter dalam film memiliki tubuh yang menyimpan memori akan kekerasan. Ayah Juno kerap bertingkah bak orang gila: mendatangi tepi sungai tempat jasad keluarganya dibuang lalu berteriak-teriak. Juno sendiri tak lepas dari trauma yang ia lampiaskan dengan menusukkan jarum ke ujung jarinya.

Garin seakan ingin mengatakan bahwa trauma, jika tak diungkap, dibicarakan, dan diakui dengan jujur, punya dampak merusak. Dan bangsa Indonesia memiliki sederet trauma kekerasan masa lalu. Sayangnya, karena tekanan politik penguasa, trauma itu terus diingkari dan bahkan sewaktu-waktu dipolitisasi demi kepentingan kekuasaan. Alhasil, bangsa ini seperti menyimpan bom waktu yang suatu saat akan meledak.

Film sebagai karya seni bukanlah sesuatu yang mesti diterima atau ditolak dengan keras. Ia adalah media yang merefleksikan kompleksitas hidup untuk kita bicarakan dan renungkan. Film, sebagaimana karya-karya seni lain, tak semestinya hanya mengangkat norma yang diterima arus utama masyarakat. Ia bisa mengungkap mosaik kehidupan, nuansa yang tak selalu hitam-putih, atau bahkan norma tandingan.

Dalam konteks tersebut, Kucumbu Tubuh Indahku tampil memukau.


1Diskusi diadakan pada 29 April 2019 di Visinema, rumah produksi yang dikelola sineas Angga Dwimas Sasongko di Cilandak, Jakarta Selatan.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top