JELAJAH LITERASI

“The Dig”: Kisah Pemburu Keabadian

in Film by

The Dig akan membawa Anda ke level permahaman berbeda tentang arkeologi yang kadung telah digambarkan oleh film semacam Indiana Jones sebagai perburuan harta karun. Arkeologi sebenarnya upaya manusia berburu kenangan, bukan untuk semata masa lalu tapi juga demi masa kini dan masa depan: suatu keabadian.

PADA 1939, menjelang Eropa memasuki Perang Dunia II, seorang penggali arkeologis dari Suffolk County di Inggris timur, Basil Brown, dipekerjakan janda kaya, Edith Pretty, untuk menggali gundukan-gundukan besar di tanahnya. Tak ada yang menduga, bahkan termasuk Brown dan Pretty sendiri, bahwa penggalian tersebut bakal dicatat sejarah sebagai salah satu penggalian arkeologis terpenting di dunia. Penggalian itu menemukan kerangka kapal sepanjang 27 meter dan setinggi 88 kaki dari periode “Dark Ages”, atau tepatnya periode raja-raja Anglo-Saxon pada sekitar Abad ke-7. Dari ruang pemakaman di dalam kapal tersebut, ditemukan sejumlah artefak terbuat dari emas dan garnet, yang kini tersimpan di British Museum di London.

Kisah nyata penggalian itulah yang didramatisasi dalam film The Dig yang tayang di layanan streaming Netflix sejak akhir Januari 2021. Film ini diarahkan oleh sutradara asal Australia Simon Stone (The Daughter) yang sebenarnya lebih dikenal sebagai sutradara di panggung teater. Begitu juga penulis skenarionya, Moira Buffini (Jane Eyre), yang seorang dramawan. Skenarionya merupakan hasil adaptasi dari novel berjudul sama karya jurnalis Inggris John Preston yang terbit pada 2007.

  • Judul Film: The Dig
  • Sutradara: Simon Stone
  • Penulis: Moira Buffini
  • Pemain: Carey Mulligan, Ralph Fiennes, Lily James
  • Rilis: 29 Januari 2021 (Netflix)
  • Durasi: 112 menit

Basil Brown (Ralph Fiennes) bukan seorang arkeolog hasil perkuliahan. Ia anak kelas pekerja yang putus sekolah di usia 12 tahun. Dari ayahnya, dia mempelajari teknik penggalian situs-situs arkeologis. Tapi, dia tak pernah berhenti belajar. Dia mempelajari apa saja, dari bahasa Latin, astronomi, hingga geologi. Dia bahkan menulis sebuah buku tentang peta astronomi. “Pengetahuan yang sedikit adalah hal yang berbahaya,” katanya kepada Edith Pretty.

Sementara itu, Edith Pretty (Carey Mulligan), janda seorang kolonel yang tinggal di sebuah estate di pedesaan Sutton Hoo (penemuan hasil penggalian itu kemudian disebut “Sutton Hoo Find”), Suffolk Country. Di kediaman luas itu, dia hidup bersama anaknya Robert Pretty (Archie Barnes).

Pertemuan Edith dengan Basil, yang direkomendasikan atasan Basil di Ipswich Museum, seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Meskipun kelas sosial mereka berbeda, keduanya berbagi ketertarikan yang sama kepada arkeologi. Terlebih kemudian Robert yang masih kanak-kanak seperti menemukan sosok ayah yang hilang pada diri Basil.

Di satu jam pertama, film ini sangat liris tapi simpel, terutama ketika mengisahkan interaksi Basil dan Edith dalam proses penggalian awal. Melalui narasi pembantu Edith, Mrs Lyons (Ellie Piercy) kita bisa merasakan kisah sedih janda kaya itu. Sejak usia 13 tahun, dia merawat ayahnya yang sakit hingga tak bisa menempuh pendidikan tinggi. Dia menikah dengan sang kolonel 17 tahun kemudian. Dan tak lama setelah Robert lahir, suaminya, Frank Pretty, meninggal. Edith pun diceritakan mengidap kerusakan pada katup jantungnya akibat demam rematik yang ia derita sejak kecil.

Meskipun film ini hanya sekilas menceritakan kisah sedih itu, akting Mulligan berhasil menampilkan karakter Edith yang tegas tapi pada saat yang sama rapuh dan cemas. Mulligan yang memulai karir di panggung teater tak perlu diragukan lagi aktingnya. Penampilannya di sejumlah film, seperti Never Let Me Go (2010), Drive (2011), Shame (2011), dan Promosing Young Woman (2020) memperoleh pujian sebagian besar kritikus dan nominasi BAFTA Award serta Academy Award. Apalagi dalam The Dig, pasangan mainnya adalah aktor watak Ralph Fiennes. Ya, si “Lord Voldemort” memang langganan nominasi Oscars dan BAFTA.

Edith yang sekarat, perang yang menjelang, dan penemuan artefak dari “abad kegelapan” seakan menjadi benang merah yang puitis. Apa artinya kehidupan jika kemudian kematian menghapus segalanya? Apa yang tersisa dari kita? Kita mati dan membusuk. Kita tak bisa terus hidup. Begitu Edith berkata kepada Brown. “Aku tidak sependapat,” jawab Brown. “Dari cetakan tangan manusia pertama pada dinding gua, kita adalah bagian dari sesuatu yang terus menerus ada. Jadi, kita tak benar-benar mati.”

Itulah filosofi arkeologi, yang disampaikan film ini dengan subtil dan anggun. Arkeologi adalah perburuan kenangan bukan semata untuk mengetahui masa lalu tapi juga memahami siapa kita hari ini dan apa yang akan kita lakukan untuk masa depan: sebuah lintasan waktu tak terputus; sebuah keabadian.

Apa yang dilakukan Edith dan Brown lebih daripada enam dekade lalu telah mengabadikan nama mereka berdua. Nama mereka bisa kita saksikan bersanding di British Museum. Penduduk Suffolk Country akan selalu mengenang mereka. “Hidup teramat singkat,” kata Edith kepada seorang arkeolog muda. “Ada momen yang harus kau rebut.” Ya, Edith telah merebut momennya dengan menyerahkan semua artefak hasil penggalian itu ke British Museum dengan cuma-cuma meskipun komisi penilai memutuskan semua yang ditemukan di tanahnya adalah miliknya.

Dalam 50 menit terakhir, The Dig memasuki plot yang cukup kompleks; tidak semata Edith, Brown, dan penggalian. Sejak penggalian Brown diketahui mengangkat temuan berharga (diawali dengan penemuan paku keling besi atau rivet yang biasa digunakan orang dulu untuk membangun kapal), berbondong-bondong arkelog, terutama dari Cambridge dan British Museum, datang dan berupaya berebut peran.

Brown pun disingkirkan. Penggalian diambil alih oleh British Museum di bawah pimpinan arkeolog Charles Phillips (Ken Stott). Brown bukan arkeologis didikan kampus sehingga dianggap amatiran. Ketika artefak dari Sutton Hoo dipamerkan untuk pertama kalinya pada 1951, sembilan tahun setelah kematian Edith, nama Brown tak disebutkan—baru belakangan kontribusi Brown diakui secara nasional. Padahal, selain dia yang pertama kali memulai penggalian, pengetahuan arkeologis Brown tak kalah dari para jebolan Cambridge tersebut. Sejak pertama kali menemukan sebuah koin emas, dia sudah bisa memperkirakan bahwa artefak itu berasal dari periode Anglo-Saxon sementara Phillips berkeras itu berasal dari era Vikings, periode yang lebih muda. Perkiraan Brown kemudian terbukti benar.

Plot ini mengajarkan kepada kita bahwa virtuoso (kemahiran luar biasa pada bidang tertentu) tak bisa diperoleh hanya semata dari bangku kuliah. Ia adalah buah dari pembelajaran dan pengalaman sepanjang hidup. Meskipun hanya mempelajari teknik penggalian dari ayahnya, Brown tak henti membaca dan berpengalaman menggali situs arkeologis selama 30 tahun. Dia juga bilang bisa mengenali tanah Suffolk hanya dengan menciumnya. Di Suffolk, nama Brown pun disejajarkan dengan arkeologis dan sejarawan setempat.

Plot lainnya adalah kisah cinta arkeolog Peggy Peggot (Lily James) dengan sepupu Edith, Rory Lomax (Johnny Flynn), yang membantu penggalian dengan mengambil foto. Peggy sendiri datang ke situs penggalian bersama suaminya, seorang arkeolog Stuart Piggot (Ben Chaplin). Tapi, Stuart tampak memperlakukan pernikahan mereka semata status. Tak ada ikatan emosional, apalagi seksual, antara dia dengan Peggy. Peggy lalu mendapatkan kehangatan dan perhatian dari Rory.

Plot ini awalnya terasa mengganggu. Penonton kehilangan Basil dan Edith. Tapi, itu tak berlangsung lama, terlebih keberadaan Peggy dan Rory kemudian dijalin Stone dengan keseluruhan tema cerita film ini. Peggy yang memutuskan berpisah dari Stuart dan menyambut cinta Rory seperti menggambarkan momen terbaik yang harus diraih manusia selagi menjalani hidup yang sangat singkat ini. Lalu, Rory yang harus pergi karena menjadi pilot pesawat tempur untuk menghadapi Jerman menggambarkan persilangan menarik antara perang yang mengantarkan manusia ke masa-masa gelap dengan temuan artefak dari “abad kegelapan” (meskipun dark ages sebenarnya merujuk kepada periode tanpa catatan historis yang memadai).

Plot ini disoroti sebagian arkeolog seperti dikabarkan Times. Karakter Rory adalah fiktif. Tak pernah ada sepupu Edith yang mengabadikan peristiwa penggalian itu dengan kamera. Foto-foto yang kini menjadi saksi bisu penggalian bersejarah itu diambil oleh dua guru yang datang ke situs penggalian: Mercie Lack dan Barbara Wagstaff. Kedua nama ini dihilangkan dari dalam novel dan film demi menciptakan plot kisah cinta Peggy dan Rory. Begitu menurut mereka.

Terlepas dari sorotan itu, yang sah-sah saja, film tentu saja bukan dokumentasi historis. Film adalah salah satu bentuk imajinasi dari realitas. Dalam imajinasi itu, sutradara dan penulis skenario memiliki kebebasan menafsir atau bahkan mengubah realitas, termasuk menambahkan bumbu romansa ke dalamnya.

Bagaimanapun, film ini justru membawa awam ke level pemahaman berbeda tentang arkeologi, yang kadung sudah digambarkan sebagai perburuan harta karun oleh film semacam Indiana Jones. Sudut penggambilan gambar Stone juga cukup unik. Dia kadang mengambil gambar asimetris: aktor berada di tepi frame sementara pemandangan lanskap pedesaan Suffolk yang indah memenuhi sebagian besar frame. Lalu, dialog dibuat voice over, dimana adegan lebih menggambarkan ekspresi aktor tanpa gerak mulut. Pilihan gaya ini membuat The Dig terasa simpel, menyegarkan, sekaligus puitis.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top